Riyoyo Kupatan: Simbol Kultural Islam Nusantara dalam Perspektif Sosiohistoris dan Symbolic Attraction

 

menyiapkan ketupat (Foto ist.)

Damariotimes. Tradisi Lebaran Kupatan, atau yang dikenal juga sebagai Riyoyo Kupatan, punya akar sejarah yang sangat kental dalam perjalanan penyebaran Islam di Jawa, terutama pada masa Kesultanan Demak di abad ke-16. Salah satu tokoh utama dalam membentuk tradisi ini adalah Sunan Kalijaga, seorang anggota Walisongo yang terkenal dengan pendekatan dakwah kulturalnya.

Sunan Kalijaga nggak hanya menyebarkan Islam lewat ceramah atau pengajaran langsung, tapi juga melalui budaya lokal yang sudah ada. Dia memperkenalkan dua istilah penting dalam kalender Islam: Bakda Lebaran (1 Syawal) dan Bakda Kupat (7–8 Syawal). Ini bukan hanya soal hari raya, tapi juga strategi agar ajaran Islam bisa diterima dengan cara yang lebih alami oleh masyarakat Jawa.

Dengan pendekatan seperti ini, Walisongo nggak meniadakan budaya pra-Islam yang sudah ada, melainkan lebih pada menyerap dan mengislamkannya. Sunan Kalijaga, misalnya, memadukan tradisi slametan dengan nilai-nilai Islam seperti syukur, silaturahmi, dan tobat. Tradisi Kupatan pun menjadi sarana dakwah yang mendalam, yang menyentuh hati masyarakat Jawa.

 

Makna Filosofis Ketupat: Lebih dari Sekadar Makanan

Kata "ketupat" dalam bahasa Jawa sebenarnya punya banyak makna simbolik yang mendalam. Setiap elemen dalam ketupat ini memiliki filosofi tersendiri:

  1. Ngaku Lepat: Mengakui kesalahan sebagai simbol permohonan maaf dan introspeksi diri.
  2. Laku Papat: Ada empat tahap spiritual yang tercermin dari ketupat: lebaran, luberan, leburan, dan laburan—semua ini menandai kemenangan setelah Ramadan.
  3. Kiblat Papat Lima Pancer: Bentuk segi empat ketupat menggambarkan arah mata angin, dengan pusatnya adalah Tuhan. Ini menunjukkan bahwa manusia kembali kepada Sang Pencipta.
  4. Janur Kuning: Simbol penolak bala, harapan akan keselamatan dan keberkahan.
  5. Beras Putih di dalamnya: Melambangkan kesucian dan niat baik yang murni.

Dalam perspektif symbolic attraction, ketupat jadi daya tarik budaya yang kuat, karena bisa menyatukan masyarakat dalam nilai-nilai Islam yang universal, seperti pemaafan, kesederhanaan, dan kebersamaan. Simbol-simbol ini nggak cuma menyentuh pikiran, tapi juga emosi kolektif masyarakat yang lebih dalam.

 

Kupatan di Berbagai Daerah: Ekspresi Kultural yang Hidup

  1. Pantura Jawa – Lomban Kupatan

Di pesisir Pantura, seperti Jepara, Pati, Rembang, dan Kudus, Lomban Kupatan jadi puncak perayaan Idulfitri pada tanggal 7 atau 8 Syawal. Tradisi ini diawali dengan ziarah makam leluhur, lalu dilanjutkan dengan larung kepala kerbau ke laut sebagai simbol harapan keselamatan bagi para nelayan. Bahkan, ada juga tradisi perang ketupat, yang menjadi simbol semangat dan keberanian masyarakat dalam menghadapi tantangan hidup.

  1. Durenan, Trenggalek – Gunungan Kupat dan Open House

Di Durenan, Trenggalek, tradisi Kupatan sudah berlangsung lebih dari dua abad. Setiap tahun, pada hari ketujuh Syawal, gunungan ketupat diarak keliling desa, disertai suasana meriah dan penuh syukur. Tak ketinggalan, rumah-rumah membuka pintu untuk open house, menyajikan ketupat, dan mengadakan salaman massal sebagai simbol rekonsiliasi sosial dan kekeluargaan.

  1. Tanjung Kodok, Lamongan – Pawai dan Jabutan Ketupat

Di Pacitan dan Lamongan, gunungan ketupat sering menjadi bagian dari pawai yang diarak, bahkan ada lomba karnaval ketupat. Setelah itu, masyarakat berebut tumpeng ketupat dalam acara yang disebut jabutan. Tradisi ini menjadi simbol kegembiraan, kebersamaan, dan harapan akan rezeki yang melimpah.

  1. Bukit Sidoguro, Klaten – Doa dan Rebutan Gunungan

Di kawasan Rawa Jombor, Klaten, puluhan gunungan ketupat yang telah didoakan oleh tokoh agama menjadi simbol berkah. Masyarakat percaya bahwa siapa yang berhasil mendapatkan ketupat tersebut, akan mendapatkan keberuntungan dan berkah.

  1. Pekauman, Gresik – Riyoyo Kupatan Sebagai Puncak Lebaran

Uniknya, di Pekauman, Gresik, puncak perayaan Lebaran justru jatuh pada hari ke-7 Syawal. Pada 1 Syawal, kampung ini terlihat lebih sepi karena banyak orang yang memilih untuk bersilaturahmi ke kerabat jauh. Bahkan mereka berpuasa Syawal dari hari ke-2 hingga ke-6, dan merayakan Riyoyo Kupatan dengan lebih meriah pada hari ke-7.

Kupatan Sebagai Daya Tarik Simbolik dan Kultural

Melalui lensa symbolic attraction, tradisi Riyoyo Kupatan nggak sekadar jadi perayaan musiman, tapi juga sebuah simbol kultural yang mempersatukan masyarakat dalam nilai-nilai spiritual dan sosial. Ketupat, sebagai simbol, menarik masyarakat untuk ikut serta dalam kebersamaan lintas generasi, wilayah, dan kelas sosial. Dengan simbolisme yang kaya ini, Kupatan bukan hanya menyentuh pikiran tapi juga meresap dalam batin kolektif masyarakat.

Penutup

Riyoyo Kupatan adalah warisan budaya yang terus hidup dan berkembang, meskipun di tengah gempuran modernitas. Tradisi ini mengajarkan kita tentang pentingnya merayakan kebersamaan dalam keberagaman. Lewat simbol ketupat, Islam Nusantara menampilkan wajah yang damai, inklusif, dan dekat dengan budaya lokal. Ini adalah pelajaran penting tentang bagaimana nilai-nilai agama bisa diterima luas dengan cara yang humanis dan membumi.

 

Kontributor:

Isa Wahyudi (Ki Demang)

Penggagas Kampung Budaya Polowijen

Mahasiswa Doktor Psikologi Budaya UMM

 

1 komentar untuk "Riyoyo Kupatan: Simbol Kultural Islam Nusantara dalam Perspektif Sosiohistoris dan Symbolic Attraction"

  1. Keren banget.. Artikel ini membahas tradisi Riyoyo Kupatan yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-16 sebagai bagian dari dakwah Islam di Jawa.

    BalasHapus