Tradisi Ater-Ater Malam Likuran: Merajut Kepedulian dan Ngalab Berkah


Tradisi ater-ater di KBP (Foto ist.)


Damariotimes. Tradisi ater-ater, yang dikenal juga dengan sebutan tradisi malam likuran, merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia, khususnya di bulan Ramadhan, untuk menghantarkan makanan kepada tetangga, saudara, atau orang yang membutuhkan. Tradisi ini terutama dilakukan pada 10 hari terakhir Ramadhan, yang dikenal sebagai malam likuran. Kegiatan berbagi makanan ini menjadi simbol dari kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sosial.

Namun, seiring berjalannya waktu, bentuk pelaksanaan dan jenis makanan yang dibagikan mengalami modifikasi. Artikel ini akan mengulas bagaimana tradisi ater-ater ini berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, termasuk daerah-daerah di Jawa Timur, serta bagaimana makna sosial dan psikologi budaya yang terkandung di dalamnya, termasuk kaitannya dengan tradisi ngalap berkah.

Sejarah dan Perkembangan Tradisi Ater-Ater

Tradisi ater-ater diperkirakan sudah ada sejak zaman kerajaan Islam di Indonesia, sekitar abad ke-15. Pada saat itu, ajaran berbagi dalam bulan Ramadhan mulai dilaksanakan oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada sesama dan ungkapan syukur atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan. Di beberapa daerah, tradisi berbagi makanan ini masih terus berlangsung, bahkan dipertahankan sebagai bagian dari ritual keagamaan dan sosial.

Malam likuran, yang terjadi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, adalah momen yang penuh berkah. Sebagai wujud dari rasa syukur dan kebersamaan, masyarakat di banyak daerah menghantarkan makanan kepada orang lain. Makanan yang dihantarkan biasanya disiapkan dengan penuh perhatian dan keikhlasan, serta dikemas dalam berbagai bentuk.

Daerah-daerah yang Masih Menjaga Tradisi Ater-Ater

Tradisi ater-ater dapat ditemukan di banyak daerah di Indonesia, dan meskipun makanan yang dihantarkan berbeda-beda, esensi dari tradisi ini tetap sama, yaitu berbagi dan saling menjaga tali persaudaraan. Beberapa daerah yang masih menjaga tradisi ini, antara lain:

1. Aceh: Di Aceh, tradisi ater-ater disebut "Sambut Kue," di mana masyarakat menghantarkan Sate Matang, Mie Aceh, dan Kue Cubir kepada tetangga dan saudara. Tradisi ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Aceh dan tetap bertahan hingga kini.

2. Sumatera Barat (Minangkabau): Di Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau mengirimkan Rendang, Soto Padang, dan Sambal Balado kepada tetangga. Tradisi ini merupakan bagian dari adat Makan Bajamba, yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.

3. Jawa Timur (Surabaya, Madura, Banyuwangi, Jember, Probolinggo, Malang, Sidoarjo): Di Jawa Timur, tradisi ater-ater sangat terasa, dengan variasi makanan yang mencerminkan kekayaan kuliner daerah tersebut. Berikut adalah beberapa contoh makanan yang dihantarkan di beberapa kota di Jawa Timur: Surabaya: Lontong Balap, Tahu Tek, Sate Kambing, Kolak Pisang, Madura: Sate Madura, Bubur Sumsum, Nasi Serpang. Banyuwangi: Pecel Banyuwangi, Nasi Rawon, Kue CubirJember: Nasi Kuning, Sate Ayam, Lontong Balap. Probolinggo: Rujak Cingur, Gulai Kambing, Kue Cubir. Malang: Sate Malang, Bakso Malang, Nasi Liwet. Sidoarjo: Sate Maranggi, Tahu Tempe Bacem, Kolak Kacang Hijau

4. Bali: Meskipun mayoritas masyarakat Bali beragama Hindu, tradisi ater-ater juga dilakukan oleh sebagian besar komunitas Muslim Bali. Makanan yang dihantarkan antara lain Sate Lilit dan Nasi Campur Bali.

5. Sulawesi Selatan (Makassar): Di Makassar, makanan yang dihantarkan termasuk Coto Makassar, Sate Toraja, dan Kue Barongko. Tradisi ater-ater ini sangat dihargai sebagai bentuk solidaritas antar sesama.

6. Lampung, Banten, Jakarta, dan daerah lainnya: Di daerah lain seperti Lampung, Banten, dan Jakarta, tradisi ini juga masih hidup, dengan hidangan berbuka seperti Pempek, Sate Maranggi, Kolak, dan Kerak Telor.

Setiap daerah memiliki makanan khas yang digunakan untuk tradisi ater-ater. Makanan ini diantarkan dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan, baik di lingkungan keluarga, tetangga, atau masyarakat sekitar.

Bentuk Makanan yang Dihantarkan Dulu dan Sekarang

Dulu, ater-ater dilakukan dengan cara membawa makanan dalam jumlah besar yang dimasak untuk berbuka puasa. Makanan ini biasanya dibungkus dalam daun pisang, nampan, atau keranjang bambu. Beberapa makanan tradisional yang umum dibagikan termasuk nasi uduk, lontong, sate, kolak, dan kue cubir.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan gaya hidup, cara dan bentuk pelaksanaan tradisi ater-ater mengalami modifikasi. Sekarang, makanan biasanya sudah dikemas dalam box makanan yang lebih praktis dan higienis. Bahkan, banyak yang memanfaatkan jasa pengantaran makanan untuk mempermudah proses berbagi. Meskipun kemasan dan cara pengantaran sudah lebih modern, esensi dari tradisi ini, yaitu berbagi dan menjaga kebersamaan, tetap dipertahankan.

Ngalap Berkah: Sebuah Tradisi yang Berjalan Berdampingan dengan Ater-Ater

Selain ater-ater, masyarakat Jawa Timur, khususnya di daerah Malang dan sekitarnya, juga mengenal tradisi ngalap berkah. Tradisi ini biasanya dilakukan dengan cara membawa makanan atau sesajen untuk didoakan oleh orang yang dianggap lebih tua atau orang yang memiliki kekuatan spiritual, seperti kyai atau ulama. Dalam konteks Ramadhan, ngalap berkah sering dilakukan untuk memohon keselamatan, kesehatan, serta kelancaran rezeki.

Ngalap berkah dapat dilakukan oleh individu atau kelompok dengan membawa makanan atau hasil bumi yang telah dipersiapkan sebagai sesaji. Makanan ini sering kali berupa nasi, lauk pauk, kue-kue tradisional, atau buah-buahan. Setelah doa bersama, makanan tersebut sering dibagikan kepada orang lain, memperkuat ikatan sosial dan mempererat hubungan antar tetangga serta memperlihatkan rasa syukur atas berkah yang diterima.

Sama seperti ater-ater, ngalap berkah mengandung nilai-nilai kebersamaan dan rasa syukur. Di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur, tradisi ini dilaksanakan menjelang malam likuran untuk memaksimalkan doa-doa dan harapan agar seluruh keluarga mendapatkan berkah selama bulan Ramadhan dan kehidupan sehari-hari.

Makna Simbolik dari Tradisi Ater-Ater dan Ngalap Berkah

Berdasarkan teori Emile Durkheim (1912) dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life, tradisi seperti ater-ater dan ngalap berkah merupakan bentuk manifestasi dari solidaritas sosial dalam masyarakat. Durkheim menyatakan bahwa agama dan ritual sosial memiliki kekuatan untuk mempererat hubungan antar individu dalam masyarakat, yang dalam konteks ini juga berlaku untuk tradisi berbagi makanan selama bulan Ramadhan.

Selain itu, teori Victor Turner (1969) tentang komunitas liminal menjelaskan bahwa selama momen-momen tertentu seperti bulan Ramadhan, masyarakat mengalami tahap "peralihan" di mana ritual-ritual seperti ater-ater dan ngalap berkah membawa individu ke dalam pengalaman bersama yang mendalam. Momen tersebut membangun ikatan sosial yang kuat dan memfasilitasi proses rekonsolidasi antara individu dengan komunitas.

Secara simbolik, tradisi ater-ater dan ngalap berkah mengandung banyak makna yang mendalam. Beberapa makna tersebut adalah:

1. Kebersamaan dan Solidaritas Sosial: Tradisi ini melambangkan rasa kebersamaan antar individu dalam masyarakat. Berbagi makanan adalah cara untuk menunjukkan kepedulian terhadap sesama, baik kepada keluarga, tetangga, maupun orang yang kurang mampu. Masyarakat yang saling berbagi menciptakan jaringan sosial yang erat dan harmonis.

2. Syukur dan Ungkapan Terima Kasih kepada Tuhan: Berbagi makanan selama bulan Ramadhan, khususnya pada 10 hari terakhir, adalah ungkapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Masyarakat merasa berkewajiban untuk berbagi dengan sesama sebagai bentuk penghargaan terhadap rezeki yang diterima.

3. Gotong Royong dan Persatuan: Tradisi ini mencerminkan nilai gotong royong yang sangat kuat dalam budaya Indonesia. Masyarakat yang saling berbagi makanan menunjukkan bahwa mereka peduli satu

Tradisi ater-ater yang berlangsung hingga kini mencerminkan esensi kebersamaan, saling berbagi, dan rasa syukur dalam masyarakat Indonesia. Meskipun mengalami perubahan dalam bentuk dan cara pelaksanaan, makna yang terkandung dalam tradisi ini tetap hidup dalam kehidupan masyarakat. Secara psikologi, kebiasaan ini memperkuat hubungan sosial antar individu, menciptakan rasa kebahagiaan, dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Sebaliknya, jika tradisi ini hilang, masyarakat mungkin merasakan perasaan kesepian dan keterasingan. Oleh karena itu, menjaga tradisi ater-ater bukan hanya soal menjaga kebiasaan, tetapi juga soal menjaga hubungan sosial yang sehat dan harmoni dalam masyarakat.

 

Kontributor: Isa Wahyudi (Ki Demang)

Penggagas Kampung Budaya Polowijen (KBP Malang)

 

Posting Komentar untuk "Tradisi Ater-Ater Malam Likuran: Merajut Kepedulian dan Ngalab Berkah"