![]() |
Seniman tradisioal langka memiliki dokumentasi (Foto ist.) |
Damariotimes. Bayangkan panggung seni pertunjukan tradisional di
Indonesia di tahun 1960-an, seperti Wayang Orang, Ketoprak, atau Ludruk di Jawa dipenuhi riuh
tepuk tangan penonton yang terpukau oleh aksi para pemain. Namun, di balik
gemerlapnya pertunjukan, tak banyak yang menyadari bahwa momen estetika ini akan lenyap
ditelan waktu, tanpa jejak yang terabadikan.
Pada masa itu, kamera masih menjadi barang langka,
apalagi bagi para seniman tradisional. Mereka mencurahkan seluruh jiwa dan raga
untuk menghidupkan karakter di atas panggung, tanpa terpikirkan untuk
mengabadikan momen tersebut dalam bentuk foto atau rekaman. Bagi mereka, seni
pertunjukan adalah tentang ekspresi langsung, sebuah peristiwa yang hidup dan
berdenyut di saat itu juga, bukan sesuatu yang perlu diabadikan.
Di tengah kondisi ini, muncullah sosok-sosok penting
yang tanpa disadari telah menjadi penyelamat sejarah: para peneliti dan
wartawan. Dengan kamera di tangan, mereka datang bukan hanya untuk menikmati
pertunjukan, tetapi juga untuk merekamnya. Mereka menyadari bahwa seni
pertunjukan tradisional adalah warisan budaya yang tak ternilai, yang perlu
dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang. Berkat mereka, kita masih bisa
melihat sekilas masa lalu, menyaksikan bagaimana para maestro ketoprak, ludruk,
dan wayang orang beraksi di atas panggung.
Akan tetapi para pelakunya, seniman seni pertunjukan itu
sendiri tidak memiliki dokumentasi mereka. Seperti yang dialami oleh Cak Wito
(Suwito Hs.) salah seorang pemain ludruk sinior di Malang. Tidak mempunyai
dokumentasi foto di bawa tahun 1970-an.
Namun sayang, dokumentasi yang mereka hasilkan
seringkali terbatas. Keterbatasan teknologi, biaya, dan akses membuat banyak
pertunjukan luput dari bidikan kamera. Kini, menemukan foto atau rekaman
pertunjukan dari era tersebut bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak
seniman legendaris yang namanya hanya tinggal cerita, tanpa bukti visual yang
menguatkan eksistensi mereka.
Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi para
penggiat seni dan sejarah. Mereka harus berjuang keras, menelusuri
lorong-lorong waktu, menemukan dan mengumpulkan sisa-sisa dokumentasi yang
tercecer. Mereka mengetuk pintu rumah keluarga seniman, mencari arsip-arsip
tua, bahkan rela menjelajahi pasar loak demi menemukan secarik foto atau
rekaman suara yang telah lama terlupakan.
Upaya ini tentu tidak mudah. Dokumen-dokumen tua
seringkali rapuh, rusak dimakan usia, atau bahkan hilang tak berbekas. Namun,
semangat untuk melestarikan warisan budaya tak pernah padam. Mereka percaya
bahwa setiap foto, setiap rekaman suara, setiap catatan kecil adalah kepingan
puzzle yang berharga dalam menyusun sejarah seni pertunjukan tradisional
Indonesia.
Karena di balik setiap gerakan tari, setiap
lantunan lagu, setiap dialog yang diucapkan, tersimpan kekayaan budaya yang tak
ternilai. Melestarikan dokumentasi seni pertunjukan tradisional adalah cara
kita menghargai jasa para seniman, menjaga identitas bangsa, dan memastikan
bahwa warisan leluhur tetap hidup dan menginspirasi generasi mendatang.
Reporter : R.Dt.
Edtitor : H. Gum
Posting Komentar untuk "Sulitnya Mengumpulkan Dokumen Seni Pertunjukan Tradisional dari Tangan Senimannya"