berdiskusi dengan profesor Wirya (gambar AI) |
Damariotimes. Profesor Wirya duduk di sudut perpustakaannya, tangannya yang
gemetar memegang sebuah buku catatan yang penuh dengan rumus-rumus dan skema
rancangan hasil pemikirannya. Sudah bertahun-tahun ia bekerja tanpa kenal
lelah, mencoba membangun teori yang bisa meningkatkan hasil pertanian,
menciptakan energi bersih, dan bahkan membayangkan alat yang mampu
mengendalikan perubahan iklim. Namun, setiap kali ia mencoba berbicara di depan
umum atau mempublikasikan hasil penelitiannya, ia hanya menerima cemooh dan penolakan.
Di zaman itu,
masyarakat hidup sederhana, tidak merasa perlu akan perubahan besar yang
diimpikan Profesor Wirya. Pendapatannya sebagai pengajar juga semakin menurun,
karena banyak orang tua yang menganggap ilmu yang diajarkannya terlalu rumit
dan tak berguna. Mereka lebih memilih ilmu praktis, yang langsung bisa
diterapkan untuk kebutuhan sehari-hari. Profesor Wirya sering mendengar para
tetangga mengobrol tentang dirinya, menyebutnya "orang tua aneh yang hidup
di dunia khayalan."
Suatu hari,
di sebuah konferensi kecil, Profesor Wirya kembali berusaha menyampaikan idenya
tentang energi terbarukan. Ia bersemangat menjelaskan cara menciptakan energi
dari angin dan matahari. Namun, para hadirin hanya mengerutkan dahi, tidak
mengerti maksudnya. Beberapa bahkan meninggalkan ruangan dengan wajah kecewa.
Sakit hati, ia kembali ke perpustakaannya dan menatap semua catatannya dengan
getir.
Di usianya
yang semakin senja, Profesor Wirya mulai menyadari bahwa ia mungkin tidak akan
melihat ilmunya diakui. Ia merasa hidupnya sia-sia, dan keinginannya untuk
membantu masyarakat dengan ilmunya perlahan berubah menjadi mimpi yang pudar.
Saat
akhirnya maut menjemputnya, hanya sedikit orang yang datang ke pemakamannya.
Buku-buku dan catatan-catatan Profesor Wirya terkubur bersamanya di
perpustakaan yang lama tak terjamah. Warisannya terabaikan, terlupakan di sudut
debu waktu.
Lima puluh
tahun berlalu.
Dunia telah
berubah. Populasi meningkat pesat, lahan subur semakin berkurang, dan sumber
daya alam mulai menipis. Masyarakat kini hidup dalam kekhawatiran akan
kelaparan dan kekurangan energi. Dalam keputusasaan, para ilmuwan baru menggali
kembali buku-buku kuno, mencari jawaban yang barangkali tersembunyi di masa
lalu.
Pada suatu
hari, seorang ilmuwan muda bernama Damar menemukan perpustakaan Profesor Wirya.
Ia membuka buku-buku tua dan takjub membaca teori tentang energi terbarukan
yang ditulis profesor itu puluhan tahun silam. Rancangan tentang panel surya,
energi angin, bahkan metode bertani di lahan kering semuanya sudah dipikirkan
oleh Profesor Wirya. Damar terpana, seolah menemukan harta karun yang telah
lama hilang. Ia tahu bahwa penemuan ini bisa menjadi jawaban bagi krisis yang
mereka hadapi sekarang.
Tak lama
kemudian, ilmu Profesor Wirya mulai dipelajari dan diterapkan di seluruh
penjuru negeri. Energi matahari dan angin diadopsi sebagai sumber utama
listrik, teknik pertanian inovatif diterapkan untuk memaksimalkan hasil pangan,
dan masyarakat akhirnya menyadari betapa besarnya warisan yang pernah dianggap
tak berguna itu. Nama Profesor Wirya kembali disebut-sebut sebagai pelopor
dalam bidang yang mereka anggap revolusioner.
Meski
terlambat, masyarakat akhirnya memahami bahwa visi Profesor Wirya adalah
anugerah yang datang sebelum waktunya. Di pojok perpustakaan yang telah
direnovasi, berdiri sebuah patung sang profesor, memegang sebuah buku di
tangannya dengan wajah penuh ketekunan, seolah masih menanti, menatap jauh ke
depan.
Di bawah
patung itu, terukir kata-kata terakhir yang pernah ia tuliskan dalam
catatannya: "Ilmu tidak pernah sia-sia. Ia hanya
menunggu waktu yang tepat untuk ditemukan."
Penulis : R.Dt,
Posting Komentar untuk "Ilmu yang Menunggu Penantian di Ujung waktu"