Putri Ḍĕḍĕs di Panawijen (Foto ist.) |
Damariotimes. Desa Panawijen pada akhir
abad ke-12 hingga awal abad ke-13 adalah sebuah desa dengan sejarah panjang
yang tercatat sejak zaman Jawa Kuno. Menurut Prasasti Wurandungan B dari abad
ke-10, desa ini merupakan bagian dari wilayah Rakryan Kanuruhan di bawah
kekuasaan Raja Sindok. Tanah di Panawijen kering dan tandus, sehingga
penduduknya menggunakan sistem padi gaga yang hanya bergantung pada curah
hujan. Untuk meningkatkan hasil pertanian, mereka membuat saluran irigasi dari
sungai yang sekarang dikenal sebagai Kali Mewek. Desa ini juga memiliki
parhyangan, atau candi desa, dan tempat tinggal guru bhakti, yaitu pendeta yang
dibantu oleh penduduk.
Pada abad ke-12, di
desa ini tinggal seorang pendeta Buddha Tantra bernama Mpu Purwa. Ia adalah
seorang pendeta sthapaka, pemimpin upacara kurban atau pendirian candi, yang
tinggal di setra, area pembakaran mayat di desa. Di dekat setra ini, dibangun
mandala pertapaan Buddha yang asri. Mandala tersebut dikelilingi tanaman
seperti angsoka, kemuning, dan nagasari, dan memiliki bangunan utama dengan
ruang tamu, ruang tidur, serta rumah kecil bertingkat yang dikelilingi pagar
tanaman.
Putri Mpu Purwa,
bernama Ḍĕḍĕs, terkenal akan kecantikan dan kelembutannya yang tak tertandingi
di wilayah timur Gunung Kawi hingga Tumapel. Kecantikan dan karakter Ḍĕḍĕs
digambarkan dengan istilah Padminī, yang mencerminkan ciri-ciri wanita Jawa
Kuno ideal, seperti mata yang lembut, wajah bercahaya, kulit halus, dan suara
yang merdu. Ḍĕḍĕs juga dikenal akan perilakunya yang penuh kesantunan dan
kearifan. Sebagai putri pendeta, ia sering menerima ajaran dari ayahnya tentang
karma amamadangi, yaitu ilmu tentang perbuatan baik yang bisa menerangi
kehidupan. Ajaran ini mengajarkan bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi,
baik di masa sekarang maupun yang akan datang.
Pada usia 15-16
tahun, Ḍĕḍĕs sudah memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran ayahnya,
yang membuatnya berbeda dari gadis sebayanya. Meskipun memiliki bekal spiritual
yang tinggi, ia tetap hidup sederhana dan bersahabat dengan penduduk sekitar.
Hampir setiap hari, ia bermain di asrama kependetaan bersama teman-temannya.
Penduduk Panawijen juga merasa nyaman mengunjungi mandala pertapaan yang
berdekatan dengan pasetran (area pertapaan), karena tempat itu terkesan damai
dan indah, jauh dari nuansa menyeramkan yang biasanya melekat pada
tempat-tempat pertapaan.
Kisah tentang Ḍĕḍĕs
ini tercatat dalam naskah Pararaton, di mana namanya abadi sebagai simbol
kecantikan, keluwesan, dan kearifan seorang wanita Jawa Kuno yang memiliki
cahaya ilmu yang menerangi hidup. Ajaran dan kesederhanaan hidupnya
mencerminkan filosofi hidup masyarakat Panawijen pada masa itu, yang tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai karma dan keselarasan hidup dengan lingkungan
dan sesama.
Sumber: buku Cakrawala
Mandala Dwipantara
Editor: Rakai Hino Galeswangi
Artikel ini memaparkan keindahan dan kearifan Dedes dari Panawijen, menggali peran pentingnya dalam sejarah Jawa kuno serta mengungkapkan nilai budaya yang tetap relevan hingga saat ini.
BalasHapus