diskusi harta dan tenaga (gambar IA) |
Damariotimes. Di sebuah kebun yang luas
dan hijau, seorang petani tua bernama Mr. Alex Jaoy sedang bekerja di bawah
terik matahari, menyiangi gulma yang tumbuh di sela-sela tanaman. Tangannya
sudah terbiasa dengan tanah, setiap sentuhan membawa kehidupan bagi tanaman
yang dirawatnya dengan penuh kesabaran. Sementara itu, pemilik kebun, seorang
pria kaya bernama Mr. Smithman, berdiri di tepi kebun dengan pakaian bersih dan
rapi. Mereka sudah lama saling mengenal, namun hari ini obrolan mereka berubah
serius ketika topik tentang pentingnya menanam dan menuai muncul di tengah
percakapan santai.
Mr. Smithman menyeka
keringat dari dahinya, meski tak seberapa dibanding keringat yang mengucur dari
tubuh Mr. Alex Jaoy. Dengan nada yang penuh keyakinan, ia berkata, “Mr. Alex
Jaoy, menurut saya, yang paling penting dalam bertani ini adalah waktu kita
menuai. Hasil panen adalah bukti nyata dari kerja keras kita, dan di sanalah
letak keberhasilan seorang petani maupun pemilik kebun seperti saya.”
Mr. Alex Jaoy
menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menegakkan tubuhnya yang renta namun
penuh pengalaman. Sambil tersenyum tipis, ia berkata, “Tentu, Mr. Smithman,
panen memang saat yang menggembirakan. Tapi, kalau tidak ada yang menanam,
merawat, dan menjaga tanaman sejak bibit, apa mungkin panen itu akan ada? Menanam
itulah awal dari segalanya. Tanpa kerja keras di awal, tak akan ada yang
dipetik di akhir.”
Mr. Smithman tertawa
kecil, menganggap argumen itu naif. “Mr. Alex Jaoy, saya yang mengeluarkan
modal untuk kebun ini. Saya yang membeli benih, pupuk, dan semua peralatan.
Saya yang mengambil risiko. Jika tidak ada modal saya, kebun ini tak akan
pernah ada. Menanam itu penting, ya, tapi tak ada gunanya jika tidak ada yang
bisa diinvestasikan.”
Mr. Alex Jaoy
mengusap topinya, merenung sejenak sebelum menjawab, “Benar, Mr. Smithman.
Modal memang penting, tapi tanah ini juga butuh tangan yang paham bagaimana
merawatnya. Seperti tanaman-tanaman ini, mereka bukan sekadar hidup karena
pupuk yang dibeli dengan uang. Mereka tumbuh karena diperlakukan dengan kasih
sayang dan kesabaran. Tanah ini butuh sentuhan yang tahu kapan harus menanam,
kapan harus memberi air, dan kapan harus mengistirahatkan. Uang tidak bisa
menggantikan pengalaman dan naluri itu.”
Mr. Smithman terdiam
sejenak, lalu menjawab, “Tapi semua kerja keras itu tidak berarti apa-apa tanpa
hasil. Jika kita tidak bisa menjual hasil panen ini, apa gunanya? Akhirnya,
orang seperti saya yang membawa keuntungan dan kesuksesan bagi kita semua.”
Mr. Alex Jaoy
menggeleng pelan. “Saya tidak menyangkal itu, Mr. Smithman. Tetapi yang perlu
kita ingat, menanam dan menuai itu adalah bagian dari siklus yang tak
terpisahkan. Bukan hanya soal uang atau keuntungan. Jika kita terlalu fokus
pada hasil, kita bisa melupakan apa yang benar-benar memberi kehidupan pada
tanaman ini. Kalau kita hanya peduli pada panen, tanpa peduli pada cara
menanamnya, apa yang akan terjadi di musim berikutnya? Tanaman tidak akan
tumbuh baik. Kebun ini akan layu.”
Mr. Smithman
mengerutkan kening. Ia tak bisa sepenuhnya menyangkal perkataan Mr. Alex Jaoy.
Ada kejujuran yang tulus di dalamnya, sesuatu yang sulit diperdebatkan. Di
dalam hatinya, Mr. Smithman tahu bahwa tanpa petani seperti Mr. Alex Jaoy,
kebunnya mungkin hanya sebidang tanah kosong tanpa hasil.
Setelah lama
berpikir, Mr. Smithman menghela napas. “Saya tidak bisa menyangkal, Mr. Alex
Jaoy, bahwa kerja keras Anda dan para petani lain sangat berharga. Namun, saya
tetap yakin bahwa tanpa modal dan rencana yang matang, semuanya akan sia-sia.
Kita berdua sama-sama penting di sini.”
Mr. Alex Jaoy
tersenyum, kali ini lebih hangat. “Begitulah seharusnya, Mr. Smithman. Menanam
dan menuai adalah dua sisi dari satu mata uang. Keduanya penting, saling
melengkapi. Tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Tanpa yang satu, yang
lain tidak bisa terjadi.”
Perbincangan mereka
berakhir dengan keheningan yang penuh pengertian. Kedua pria itu menyadari
bahwa di dalam siklus kehidupan, setiap peran memiliki tempatnya masing-masing.
Kekuatan tidak hanya diukur dari modal atau kekayaan, tapi juga dari ketekunan,
ketrampilan, dan kerja keras. Pada akhirnya, baik menanam maupun menuai adalah
bagian dari proses yang sama-sama berharga.
Kebun itu tetap
hijau, dan kehidupan terus berputar di dalamnya, dengan pelajaran moral yang
mereka berdua pegang erat: kesuksesan tidak diukur dari hasil akhir saja, tapi
juga dari upaya yang dijalani sepanjang jalan.
Penulis : R.Dt.
Editor
: MAH
Posting Komentar untuk "Siklus Tanah dan Hasil: Harmoni di Antara Tangan dan Harta"