mimpi di atas telaga (Foto ist.) |
Damariotimes. Di pinggir sebuah telaga
yang tenang, seorang arsitek dan seorang tukang kayu duduk di atas batang kayu
besar yang terdampar di tepi air. Setiap sore, mereka berkumpul di sana,
menikmati pemandangan dan berbagi pikiran. Namun, sore itu, perbincangan mereka
berubah menjadi diskusi yang lebih sengit dari biasanya.
"Bayangkan,
rumah di atas telaga ini," ujar sang arsitek dengan mata yang bersinar
penuh antusiasme. "Bayangkan betapa indahnya, dengan jendela besar
menghadap air, lantai kaca yang memperlihatkan dasar telaga, dan balkon yang
seolah-olah melayang di udara. Ini bisa menjadi mahakarya!"
Sang tukang kayu,
dengan wajah yang lebih tenang dan penuh pertimbangan, menggelengkan kepalanya.
"Aku mengerti mimpimu, tetapi ini bukanlah ide yang mudah diwujudkan. Kayu
bisa lapuk, fondasi bisa goyah, dan angin kencang bisa meruntuhkan seluruh
bangunan. Rumah di atas air itu berbahaya. Kita harus lebih realistis."
Arsitek itu tidak
menyerah. "Tapi, dengan teknik yang tepat, semuanya bisa diatasi. Kita
bisa menggunakan kayu tahan air, memperkuat fondasi dengan teknologi modern.
Tak ada yang mustahil jika kita berani bermimpi!"
Tukang kayu itu
menghela napas. "Memang, mimpi adalah awal dari segalanya, tapi kita harus
bijak. Apakah risiko yang kita ambil sepadan dengan hasilnya? Apakah keindahan
itu akan bertahan selamanya? Alam tidak mudah ditaklukkan."
Diskusi mereka
semakin memanas, masing-masing bersikeras pada pandangannya. Sang arsitek
dengan mimpinya yang mengawang, dan sang tukang kayu dengan kakinya yang tetap
menapak di bumi.
Namun, seiring
matahari tenggelam, mereka terdiam dan melihat bayangan mereka di air. Keduanya
menyadari satu hal—di tengah semua perdebatan dan ide besar, mereka sebenarnya
hanyalah dua orang yang duduk di tepi telaga, tanpa kekayaan atau sumber daya
untuk mewujudkan impian tersebut. Mereka hanya memiliki mimpi dan keyakinan
masing-masing.
Penulis: R.Dt.
Editor : MAH
Posting Komentar untuk ""Mimpi di Atas Telaga""