profesi guru dan montir (gambar IA) |
Damariotimes. Di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, aroma kopi dan suara canda
tawa memenuhi ruangan. Warung ini terkenal sebagai tempat berkumpul orang-orang
dari berbagai profesi. Pada pagi itu, dua orang pelanggan yang berbeda profesi
tak sengaja duduk bersebelahan di meja yang sama.
Eminawati, seorang guru wanita yang baru saja pulang mengajar, sedang menikmati
secangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Di sebelahnya, Budi, seorang
montir sepeda motor yang sedang rehat setelah memperbaiki beberapa motor di
bengkelnya, asyik melahap nasi goreng.
Awalnya, mereka duduk dalam diam, tetapi suasana hangat warung membuat
mereka mulai mengobrol.
“Wah, wangi kopinya bikin semangat pagi ini ya, Bu Guru?” sapa Budi sambil
tersenyum.
Eminawati tertawa kecil. “Iya nih, Pak Montir. Kopi ini bikin saya kuat
menghadapi murid-murid yang ‘berisik’ seperti knalpot racing.”
Budi tergelak. “Kalau begitu, saya bisa bantu. Saya biasa ‘menyembuhkan’
knalpot berisik, siapa tahu bisa menyembuhkan murid-murid juga,” balas Budi,
sambil menunjuk dirinya sendiri dengan bangga.
Eminawati mengangguk sambil tersenyum. “Bagus juga idenya, Pak Montir.
Mungkin saya bisa tukar posisi dengan Anda sehari, mengajari murid-murid cara
memperbaiki motor.”
Budi menimpali, “Oh, kalau begitu saya juga bisa jadi guru sehari. Mengajar
murid-murid cara mencopot dan memasang knalpot. Mereka pasti suka, Bu Guru!”
Keduanya tertawa bersamaan. Percakapan mereka mulai mengalir dengan ringan,
diselingi sindiran lucu tentang profesi masing-masing.
“Jadi, Bu Guru, apa yang paling menyenangkan dari mengajar murid-murid?
Selain mengatur mereka seperti mengatur baut motor, tentunya,” tanya Budi,
tersenyum jahil.
Eminawati berpikir sejenak. “Yang paling menyenangkan? Melihat murid-murid
berhasil menguasai pelajaran, itu seperti menemukan mesin motor yang tiba-tiba
bisa hidup dengan sekali kick starter!”
Budi mengangguk setuju. “Wah, persis seperti menemukan baut yang pas
setelah lama dicari! Lalu, Bu Guru, pernah ada kejadian lucu di kelas?”
Eminawati tertawa mengingat kejadian itu. “Pernah, suatu hari saya suruh
murid-murid saya buat kalimat dengan kata ‘montir’. Salah satu murid menulis,
‘Montir adalah orang yang bisa bicara dengan motor.’ Saya pikir, saya harus
belajar dari Anda kalau begitu!”
Budi tergelak lagi. “Wah, kalau montir bisa bicara dengan motor, guru
mungkin bisa bicara dengan papan tulis, ya! Tulisannya jelas, tapi suara nggak
keluar!”
Mereka berdua terpingkal-pingkal. Suasana warung menjadi lebih hangat
dengan gelak tawa mereka. Orang-orang di sekitar yang mendengar obrolan mereka
juga ikut tersenyum.
“Ada satu hal yang bikin kita mirip, Bu Guru,” kata Budi setelah tawa
mereka reda.
“Apa itu, Pak Montir?” tanya Eminawati penasaran.
“Kalau montir harus sabar mengutak-atik mesin yang ngadat, guru juga harus
sabar menghadapi murid yang kadang suka ‘ngadat’ juga,” jelas Budi sambil
tertawa.
Eminawati mengangguk. “Benar sekali! Ternyata, profesi kita punya kesamaan
dalam hal kesabaran. Tapi bedanya, kalau murid salah jawab soal, saya nggak
bisa tinggal ganti bagian seperti montir ganti suku cadang.”
Budi tertawa. “Kalau begitu, Anda lebih jago dari saya, Bu Guru. Anda bisa
memperbaiki sesuatu yang tidak bisa diganti, seperti pikiran anak-anak.”
Percakapan mereka terhenti ketika Budi melihat jam di dinding warung. “Wah,
sudah waktunya saya balik ke bengkel. Senang bisa ngobrol dengan Anda, Bu Guru.
Kalau butuh bantuan memperbaiki motor, jangan ragu panggil saya, ya!”
Eminawati tersenyum dan menjabat tangan Budi. “Tentu, Pak Montir. Terima
kasih atas obrolan lucunya. Semoga hari ini bengkelnya lancar!”
Mereka berdua meninggalkan warung dengan senyum puas. Percakapan ringan dan
sindiran lucu di warung kopi itu menjadi awal persahabatan yang tak terduga
antara guru dan montir, membuktikan bahwa humor bisa menghubungkan siapa saja,
dari profesi mana pun.
Penulis:
R.Dt.
Editor : MAH
Posting Komentar untuk "Gurauan di Warung Kopi: Guru dan Montir "