siarah (Foto ist.) |
Damariotimes. Sudah setahun ini Suranto tidak kembali bekerja di Singapura. Katanya sudah
lelah. Bekerja di perantauan tidak lebih baik daripada tinggal di desa, meski
di desa ini pun tidak banyak yang bisa diandalkan. Sebagai lulusan SMK Teknik,
mencari pekerjaan di zaman ini tentu sangat sulit. Beberapa anggota keluarga
menyarankan agar ia membuka kios tambal ban. Sedikit curang tidak apa-apa,
katanya. Sebar paku di jalan, satu dua motor pasti terkena. Namun Suranto hanya
menggelengkan kepala, sedikit pun tidak terlintas di otaknya yang sudah sangat
lelah itu. Tapi setiap hari ia terus memutar otak, mencari apa yang bisa
dikerjakan untuk hari esok, minimal untuk makan dirinya sendiri. Hasil kerja
dua tahun di Singapura sudah habis untuk melunasi hutang-hutang ayahnya.
Setiap hari setelah menyiapkan air panas untuk mandi ayahnya, Suranto pergi
keluar rumah. Sebenarnya tidak ada tujuan pasti, tetapi ia berpikir lebih baik
keluar rumah, mungkin bisa bertemu teman. Namun, keluar rumah juga memberikan
trauma. Teman-temannya selalu menanyakan pengalaman kerja di luar negeri,
bahkan ada yang meminta ditraktir bakso, cukup semangkuk sudah cukup, kalau
ditambah dengan segelas es sirup lebih baik. "Ayo, dong, traktir,"
kata teman yang sudah lama tidak bertemu. Suranto jadi tambah bingung, tidak
tahu harus kemana, sering kali ia berkeluh kesah sendiri.
Sebelum berangkat ke Singapura, Suranto punya teman akrab bernama Pakdi.
Usianya lebih tua, sebenarnya lebih cocok dipanggil bapak. Namun karena sudah
akrab, dia dipanggil Kang. Kang Pakdi adalah seorang seniman, dikenal sebagai
pelukis. Lukisannya mengambil objek wayang. Banyak yang dapat diceritakan dari
setiap lukisannya. Suranto sangat mengagumi ketekunannya. Sebagai seniman
memang bukan pilihan, namun Kang Pakdi tampak ikhlas menjalani hidupnya. Dia
sering kali bercerita, melukis memang bukan profesi, ini adalah anugerah. Maka
harus disyukuri dan dirawat dengan penuh ketekunan.
Suatu hari, Kang Pakdi mengajak Suranto untuk berziarah ke makam Kakek
Karso. "Kita bisa membersihkan makam dan mendoakannya," ajak Kang
Pakdi. Suranto merasa ini adalah ide bagus, sebuah alasan untuk keluar rumah
dan melakukan sesuatu yang berarti. Mereka berdua kemudian pergi ke makam Kakek
Karso yang terletak di bukit kecil di ujung desa.
Di makam, Suranto dan Kang Pakdi membersihkan rumput liar dan dedaunan
kering yang menutupi makam. Kang Pakdi mulai bercerita tentang Kakek Karso,
seorang petani yang dikenal gigih dan penuh semangat. "Kakek Karso adalah
contoh ketekunan dan kerja keras. Meski hidupnya sederhana, dia selalu berusaha
memberikan yang terbaik untuk keluarganya," kata Kang Pakdi sambil menyapu
tanah makam.
Mendengar cerita tersebut, Suranto merasa terinspirasi. Ia menyadari bahwa
hidup tidak selalu tentang mendapatkan uang atau status, tetapi tentang
ketekunan, kerja keras, dan memberikan yang terbaik dalam setiap keadaan.
"Aku harus lebih tekun dan tidak menyerah," pikir Suranto dalam hati.
Setelah selesai membersihkan makam, Suranto dan Kang Pakdi duduk sejenak di
bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin tenang.
"Kang, aku ingin mencoba mencari pekerjaan di desa. Mungkin bukan
pekerjaan besar, tapi setidaknya bisa memberi manfaat," kata Suranto
dengan semangat baru.
Kang Pakdi tersenyum. "Itu ide yang bagus, Suranto. Tidak ada
pekerjaan yang terlalu kecil selama kita melakukannya dengan sepenuh hati.
Ingat, ketekunan dan keikhlasan adalah kunci," kata Kang Pakdi dengan
bijak.
Setelah pulang dari makam, Suranto mulai mencari pekerjaan di desa. Ia
mencoba berbagai hal, dari membantu di sawah, menjadi buruh harian, hingga
akhirnya menemukan panggilan sebagai tukang kayu. Meski penghasilannya tidak
banyak, Suranto merasa lebih tenang dan bahagia. Ia belajar bahwa hidup adalah
tentang bagaimana kita menghadapi setiap tantangan dengan tekun dan ikhlas.
Keluarga Suranto juga merasakan perubahan dalam diri Suranto. Mereka
melihatnya lebih bersemangat dan tidak mudah putus asa. Keputusannya untuk
bekerja di desa dan menjaga ayahnya membuat mereka semakin bangga. Meski hidup
sederhana, Suranto merasa bahwa ia telah menemukan makna sejati dari kerja
keras dan ketekunan, seperti yang diajarkan oleh Kakek Karso dan Kang Pakdi.
Nama,
tempat, dan peristiwa pada cerita ini fiktif
Penulis : H.
Gumelar
Posting Komentar untuk "Ziarah Keluarga Suranto ke Makam Kakek Karso"