penari topeng barangan (Foto ist.) |
Damarioteimes. Di desa Galuh, cerita
mistis sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, di tepi Sungai
Lenggara, tepat di kaki Gunung Selamat, ada sebuah legenda yang membuat bulu
kuduk merinding. Setiap Jumat Kliwon, rombongan penari topeng barangan selalu terdengar
di sekitar sungai. Suara gamelan yang mengiringi tariannya seolah-olah datang
dari dunia lain. Tidak ada yang pernah melihat mereka, namun suara dan
getarannya nyata.
Kisah ini bermula
pada zaman penjajahan Belanda. Suatu ketika, ada sekelompok penari topeng
barangan yang dikenal dengan keahlian mereka dalam seni tari tradisional.
Mereka adalah rombongan yang terkenal, sering diundang untuk mengisi
acara-acara besar. Namun, takdir membawa mereka melintas perbatasan terlarang
di daerah tersebut. Belanda, yang saat itu sedang mengintai pejuang rakyat,
mengira mereka sebagai mata-mata dan tanpa ampun menembaki rombongan tersebut.
Jeritan pilu dan suara gamelan yang tiba-tiba berhenti mengisi udara malam itu.
Setelah kejadian
itu, desa Galuh tak lagi sama. Masyarakat sering mendengar suara gamelan dan
melihat bayangan penari di tepi Sungai Lenggara setiap Jumat Kliwon. Kabar
burung beredar bahwa ini adalah arwah para penari yang kembali untuk
menyelesaikan tarian mereka yang terhenti. Tak seorang pun berani mendekat,
takut akan kutukan atau dibawa ke dunia lain oleh para penari tersebut.
Sore itu, Jumat
Kliwon yang kelam, Wagiman, seorang pemuda desa yang penuh rasa ingin tahu,
memutuskan untuk mencari tahu kebenaran dari cerita mistis ini. Dengan bekal
keberanian dan keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari legenda,
dia mendekati Sungai Lenggara. Semakin dekat dia ke sungai, semakin jelas suara
gamelan terdengar. Hatinya berdebar, namun dia tetap melangkah.
Tiba di tepi sungai,
Wagiman melihat bayangan penari topeng yang menari dengan gemulai di bawah
sinar bulan. Mereka tampak nyata, namun ada sesuatu yang aneh dari gerakan
mereka. Seolah-olah mereka menari di antara dua dunia, dunia nyata dan dunia
arwah. Wagiman terpesona oleh keindahan dan kesedihan tarian itu. Setiap
gerakan menceritakan kisah penderitaan dan harapan yang tak pernah selesai.
Wagiman mencoba
mendekat, namun tiba-tiba salah satu penari menoleh padanya. Mata mereka
bertemu, dan Wagiman merasakan dingin yang menusuk tulang. Penari itu mendekatinya,
dan tanpa berkata apa-apa, mengulurkan tangan. Wagiman, seolah-olah dalam
hipnotis, menerima uluran tangan itu. Seketika, dia merasa ditarik ke dalam
pusaran waktu. Dia melihat kilasan-kilasan masa lalu, saat rombongan penari itu
ditembaki dan jatuh satu per satu. Suara tangisan dan jeritan memenuhi
kepalanya.
Tiba-tiba, semuanya
menjadi sunyi. Wagiman membuka mata dan mendapati dirinya masih di tepi Sungai
Lenggara, namun para penari sudah hilang. Suara gamelan pun menghilang. Dia
merasakan air mata mengalir di pipinya, bukan karena ketakutan, tetapi karena
kesedihan yang mendalam. Wagiman memahami bahwa para penari itu bukanlah
ancaman, mereka hanya roh yang terjebak, terus mencoba menyelesaikan tarian
terakhir mereka.
Setelah kejadian
itu, Wagiman menceritakan pengalamannya kepada tetua desa. Mereka memutuskan
untuk mengadakan upacara penghormatan setiap Jumat Kliwon, untuk mendoakan para
penari topeng barangan yang tewas di masa lalu. Upacara itu menjadi tradisi,
dan sejak saat itu, suara gamelan dan penari topeng barangan tidak lagi
terdengar di tepi Sungai Lenggara. Legenda penari topeng barangan tetap hidup,
namun kini dengan rasa hormat dan penghargaan.
Desa Galuh kini
menyimpan kisah mistis itu sebagai bagian dari sejarahnya, mengingatkan mereka
akan pengorbanan dan keindahan yang terkadang datang dalam bentuk yang tak
terduga.
Cerita ini adalah fiktif
Penulis: R.Dt.
Posting Komentar untuk "Misteri Legende Penari Topeng Barangan di Sungai Lenggara"