Pergelaran wayang kulit (Wordpres.com)
Damariotimes. Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Kawi, hiduplah seorang petani miskin bernama Joko Kirono. Dia akrap dipanggil Joko oleh tetanggannya. Setiap hari, ia bekerja keras di sawah, menanam padi dan sayuran. Meski begitu, hasil panennya selalu kurang memadai, dan ia sering menjadi bahan olokan tetangganya yang lebih makmur.
Suatu hari, dalam kesedihan dan keputusasaannya, Joko pergi ke sebuah
sungai kecil dekat punden desa. Di sana, ia duduk termenung, memikirkan
nasibnya yang malang. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul seorang lelaki
tua yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Lelaki itu berpenampilan aneh, dengan
pakaian tradisional dan rambut yang beruban.
"Joko," panggil lelaki tua itu, "Aku tahu kesulitanmu. Jika
kau ingin keluar dari kemiskinan, tanggaplah wayang kulit di desa ini dengan
lakon 'Gajah Mata Songo'. Itu akan menjadi sarana pasugihanmu."
Joko terkejut dan bingung mendengar saran tersebut. Ia tak pernah
menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit sebelumnya, dan ia juga tak memiliki
cukup uang untuk membayarnya. Namun, harapan untuk mengubah nasibnya membuat
Joko memutuskan untuk mencoba.
Dengan susah payah, Joko mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Ia
menjual sebagian besar barang berharganya dan bahkan meminjam dari beberapa
tetangga yang bersimpati. Akhirnya, ia berhasil mengundang dalang terkenal
untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon "Gajah Mata
Songo".
Malam pertunjukan tiba, seluruh desa berkumpul di alun-alun untuk
menyaksikan wayang kulit yang jarang sekali diadakan. Lakon "Gajah Mata
Songo" mengisahkan seekor gajah berkekuatan sakti yang mampu mengatasi
segala rintangan. Semua penonton terpukau oleh kisah tersebut, dan suasana
magis menyelimuti desa.
Keesokan harinya, keajaiban terjadi. Joko menemukan bahwa ladangnya yang
biasanya tandus kini tumbuh subur dengan tanaman ketela pohon. Ketelanya tumbuh
besar dan berkualitas tinggi, menarik perhatian banyak orang. Dalam waktu
singkat, usaha menanam ketela pohon Joko berkembang pesat. Banyak orang dari
kota datang untuk memesan ketela pohonnya.
Kehidupan Joko berubah drastis. Ia menjadi kaya raya, dan usahanya semakin
berkembang. Orang-orang yang dulu menghina dan meremehkannya kini berbalik
menghormatinya. Namun, Joko tetap rendah hati dan selalu bersyukur atas rezeki
yang diterimanya.
Desa di kaki Gunung Kawi itu pun berubah menjadi desa yang makmur berkat
usaha ketela pohon Joko. Pertunjukan wayang kulit "Gajah Mata Songo"
menjadi legenda, dan setiap tahun diadakan sebagai bentuk syukur dan pengingat
akan keberhasilan Joko.
Penulis:
R.Dt.
Posting Komentar untuk "Kisah Mistri Pasugihan Wayang: Kisah Petani Miskin di Kaki Gunung Kawi"