Grebeg Sabrang (Foto ist.) |
Damariotimes.
Grebeg atau Garebeg adalah kata bahasa
Jawa, artinya adalah diirid ing bala akeh
(diiringi oleh prajurit yang banyak) (Djumadi dalam J.J. Ras, 1985: 335). Thojib Djumadi menjelaskan lebih lanjut
tentang Grebeg, sebagai berikut.
Grebegan iku wis kalumrah sadurunge jaman
Islam ing Indonesia. Ana ngendi-endi para nata yen tindak mesti ginarebeg ing
sakehing bala. Apa maneh yen tindak menyang njaban kuta. Ananging grebegan
kanti teges adat tata-cara uga wis ana ing jaman samana. Sataun sepisan para
nata ginarebeg tindak miyos mubeng kuta. Mestine ing wektu mangkono mau sang
prabu ora klepyan atur peparing wujud duwit apa dene busana lan bojana marang
para penderek lumebere marang para kawula.
Sang pujangga Kanakamuni sing peparab
sang Prapanca ing buku seratane “desyawarnana” sing luwih kasuwur kanti aran
“Negarakertagama” nyaritakake adat mangkono mau ing jaman sugenge sang prabu
Rajasanegara. Wektune saben tanggal 15 sasi Palguna. Tindake sang prabu
ginarebeg ing para arya, para patih, mahasenapati, para senapati, tumenggung,
rangga, kanurohan, demang, pelaut, panewu, pangalasan, bayangkari (Djumadi dalam J.J. Ras, 1985: 335).
Pada wayang topeng adegan Grebeg menggambarkan barisan prajurit
yang berangkat menunaikan titah sang raja, mereka keluar dari paseban menuju alun-alun untuk
menyiapkan pasukan, kemudian menunaikan titah raja. Titah ini yang dimaksudkan
sebagai “mandat”, raja memberikan mandat pada seorang patih atau panglima untuk
menyampaikan sesuatu yang berisi keinginan tertentu. Titah di sini ada dua,
yaitu titah yang baik dan ada pula yang jelek. Kedua titah ini akan dibawa oleh
masing-masing utusan.
Grebeg dalam pertunjukan wayang topeng ada dua jenis yaitu Grebeg Jawa dan Grebeg
Sabrang. Grebeg Jawa adalah
menggambarkan barisan prajurit kerajaan Jawa, yaitu Kediri atau Jenggala. Gerebeg Sabrang adalah menggambarkan
barisan prajurit kerajaan Sabrang. Berikut ini salah satu gambaran tentang
adegan Grebeg Jawa.
Setelah jejer kerajaan Jenggala berakhir, sang prabu Lembu Amiluhur
berserta pemaisuri meninggalkan paseban memasuki keraton, kemudian satu persatu
kadang ‘saudara‘ Panji berserta
prajurit meninggalkan paseban itu juga.
Berikutnya adegan Grebeg Jawa, satu persatu kadang Panji yang terdiri dari Panji
Pambela, Panji Pamecut, Panji Pamindu, dan Panji memasuki arena pentas dengan
terlebih dahulu melewati slambu yang
dibelah tepat di tengah-tengah sebagai layar belakang. Grebeg umumnya terdiri dari empat penari, jika lebih (5 orang)
diikuti oleh sang raja. Gerakan tarian ini umumnya berpola jalan, yang
menggunakan bentuk jalan bermacam-macam secara bergantian. Gerakan kaki yang
pokok adalah Labas, gelap, atau Kencak. Adegan ini mempunyai pola perapatan (segiempat) dan melingkar satu kali penuh, atau melingkar
dua kali berlawanan arah yang disebut ngendali.
Perbedaan dengan Grebeg Sabrang terletak pada materi gerak, karakter, dan motif
gerak yang lebih besar (volume gerak lebar),
juga bentuk-bentuk gerak yang lebih menonjolkan kekuatan, seperti gerak srodokan, atau gerak labas yang lebih lebar. Formasi yang
dibuat umumnya tidak berbeda. Namun, pada perkembangan penyajian wayang topeng,
formasi Grebeg ada yang berpola
diagonal (menyudut), dengan gerakan wiwil
jekluk yang dilanjutkan dengan penthangan.
Penulis: Robby Hidajat
Posting Komentar untuk "Grebeg Sabrang atau Jawa pada Wayang Topeng Malang"