Damariotimes. Bantengan, sebuah kesenian rakyat yang kini tengah mengalami perubahan, memiliki sejarah yang menarik. Pada awalnya, bantengan merupakan bagian dari kesenian pencak Jawa, khususnya Pencak Dor pada era 60-an. Saat Pencak Dor dilarang, bantengan digunakan sebagai media untuk menggantikan binatang liar yang sebelumnya digiring. Suasana kesenian ini sangat meriah dengan variasi gerakan yang liar dan bunyi kluntung-kluntung.
Setiap pertunjukan Bantengan, masyarakat selalu tumpah ruah (Foto ist.) |
Pada masa itu, masyarakat antusias melihat pertunjukan
bantengan, terutama saat terdengar bunyi kluntung-kluntung dan musik Pencak
Dor. Meskipun ada rasa takut, kegembiraan melanda penonton. Selain bantengan,
pertunjukan juga melibatkan binatang lain seperti singa dan kera, yang saling
berinteraksi dengan banteng.
Namun, bantengan kini mengalami transformasi. Di wilayah Malang
Raya, Probolinggo, Pasuruan, dan Mojokerto, bantengan menjadi spektakuler dan
populer. Perkembangan ini mengarah pada pengaruh dari kesenian jaranan, baik
dalam musik maupun geraknya. Bantengan sekarang lebih mirip dengan jaranan,
terutama dalam penggunaan properti seperti anyaman kepang.
Meskipun sering disebut sebagai "banteng kepang,"
perbedaan terletak pada penggunaan wujud binatang banteng sebagai media
ekspresi, bukan anyaman bambu. Musiknya pun lebih condong ke karakter jaranan,
sehingga geraknya tidak lagi merepresentasikan banteng, melainkan langkah
jaranan kuda.
Festival bantengan menjadi acara populer di Malang Raya dan
sekitarnya. Namun, uniknya, musik yang mengiringi pertunjukan bantengan saat
ini adalah musik remix dari CD YouTube, bukan musik langsung seperti pada
kesenian Jaranan atau Pencak. Fenomena ini menyebabkan karakteristik asli
bantengan menjadi kabur, sulit membedakan antara banteng dan kuda.
Mungkin, fenomena baru ini menciptakan pertanyaan apakah ada
kaitannya dengan pemilu atau fenomena lain yang berkaitan dengan
"ketidakan." Salah satu fenomena baru yang muncul adalah joget bantengan, sebuah koreografi tarian yang menggunakan kepala banteng sebagai
properti. Sayangnya, hal ini menciptakan kesan bahwa joget bantengan hanya
sebagai tarian biasa dengan iringan musik remix, tidak lagi mencerminkan
karakteristik asli bantengan.
Dalam menghadapi fenomena ini, akademisi tari, kreator, dan
koreografer perlu memikirkan ulang bentuk tari bantengan. Koreografi bantengan
dan joget Bantengan harus mengembalikan karakteristik asli bantengan, baik dari
segi gerakan maupun musik, sehingga tidak hanya menjadi tarian yang mengikuti
trand musik "modern," tetapi tetap mempertahankan esensi asli
bantengan sebagai sebuah kesenian rakyat yang unik.
Kontributor : Drs.
Soerjo Wido Minarto, M.Pd.
Editor : Muhammad Afaf Hasyimy
Artikel ini menginformasikan tentang Sejarah, perubahan dan bantengan dimasa kini. Penyajiannya sangat menarik dan mudah dipahami
BalasHapus