Damaritimes. Sekali lagi yang perlu dipahami, bahwa tari (seni) adalah sebuah sarnan mengolah ”raga” yang memiliki kemampuan dalam bergerak agar trampil dalam menirukan, menyerap, menangkap realitas yang paling kakiki, mengolah ’jiwa” agar menemukan keluhuran, kepakaan, kecerdasan, atau kebijakan yang bukan bersumber dari ”pikiran”.
Tubuh yang memiliki kecerdasan, kepekaan, keluhuran, dan atau kebijakan
adalah sebuah akhir dari perolehan kita menggeluti dunia ”Tari”. Jika seorang
bayi belajar berbicara melalui ”gerak” maka pada saat yang paling akhir dari
kehidupan manusia adalah mengakhiri gerak. Jika realitas tersebut benar-benar
dapat dipahami sudah selayaknya maka ”tubuh” yang bergerak itu benar-benar
dicari nilai hakikinya yang terdalam.
Tentunya hal ini sangat beralasan, Tuhan menganugraknan manusia dapat
”bergerak” bukan karena aspek instingtif yang diberikan untuk menghindarkan
diri dari bahaya atau mencari makan, tetapi ”bergerak” tentunya adalah modal
untuk menemukan kesadaran realitas dari hidup. Maka titik akhir hidup, manusia
tidak lagi bergerak adalah sebuah titik kulminasi kesadaran manusia tentang
realitas ini. Apakah sampai atau tidak
kita bertemu Tuhan; tentunya salah satu yang dipertanyakan adalah ”gerak” yang
kita miliki dapat menceritaan tentang realitas hidup. Seni tari mengolah ’jiwa”; menemukan keluhuran, kepakaan, kecerdasan, atau kebijakan (foto ist.)
Perihal tersebut sangat beralasan,
jika ”tari” diajarkan sebagai sarana pendidikan. Artinya tidak hanya sebatas
siswa menjadi trampil, dan mampu pentas dipanggung ketika perpisahan sekolah
dan berakhir dengan foto kenangan yang membanggakan keluagara. Siswa
dibelajaran untuk bergerak yang teratur, sistemik, terkonstruksi, terarah,
terbimbing memasuki tata nilai kehidupan moral dan spiritual. Sekali lagi
pendidikan tari untuk siswa sekolah tidak sebatas mereka belajar untuk
mengembangkan talenta yang berakhir sebagai intertenar (penghibur), tetapi
kemampuannya bergerak dapat melakukan kontrol gerak, menyadari tentang ruang
geraknya yang agar tidak lepas kendali dan terperosok pada ruang gerak yang
emosional dan tercela.
Pencapaian yang sangat absolut dalam mempelajari tari adalah menyadari
sepenuhnya bahwa gerak itu adalah semua media menemukan hakekat gerak yang
hakiki yang penuh dengan perasaan ”cinta dan kasih sayang”. Inilah yang dimaksud jalan lain jika
manusia ingin bertemu Tuhan.
Bagaimana pun wujud dan fungsi tari yang mengalami perubahan sesuai tuntuan
lingkungan dan zamannya, satu hal yang selalu menyertai adalah ”estetik”.
Estetika pada dasarnya sesuatu yang tidak dapat dikreasi, karena ”keindahan”
yang umumnya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat subjektif adalah sebuah
”rasa zaman”. Rasa zaman dimiliki dalam individu dan juga dalam masyarakat,
sehingga estetika harus ditumbuhkan dengan cara membelajarkannya. Pendidikan
estetik lebih penting dari membelajarkan ketrampilan seni. Maka, para guru
harus yakin; bahwa membelajarkan estetik akan dapat memacu pertumbuhan seni
dalam masyarakat. Peersoalan yang harus dihadari adalah cara membelajarkan dan
media diperlukan karya seni. Karya seni yang dapat memberikan pondasi agar
manusia mampu menghayati aspek kehidupan, baik yang bersifat humanistas
(hakekat kemanusiaan) dan hakekat spiritual. Spiritual dalam diri manusia
adalah dasar dalam mengapresiasi karya seni, karena dalam spiritual tersebut
terkandung nilai-nilai trandendental (ke Tuhan-an).
Editor :
H Gumelar
Posting Komentar untuk "Humanitas, Spiritual, Dan Estetik Dalam Seni Tari (bagian 5)"