Damariotimes. Dalam masyarakat etnik ”tari” dikenali sebagai sebuah bahasa yang bersifat non verbal, ungkapan yang memiliki makna yang lebih luar dari kata-kata. Gerak selain memuat hasil tiruan realitas (alam dan lingkungan) juga mengusung ”simbolisasi” yang dapat menyadarkan manusia tentang hakekat tentang dirinya (individu) dan realitas yang dialami.
Eksistensi seni terhadap individu tidak disadari sepenuhnya, sungguh pun
sejarah kehidupan manusia, tari merupakan manifestasi dari individu itu
sendiri. Nilai seni tidak banyak bersangkutan-paut dengan keberadaan
pencetusnya (pencipta) atau pelakunya (penari). Karena manusia tidak wenang
(berhak) memilikinya, tetapi jika mampu menyajikan tari dengan sempurna
merupakan kebanggan tersendiri, di mana dia sebagai mahluk telah memuhi
kewajiban terhadap penciptanya (tari sebagai sarana peribadatan). Di sini kita
dapat memahami ”tari” sebagai sebuah ungkapan yang bersifat spiritual, ungkapan
jiwa yang mampu menyampaikan seribu makna dari kata-kata yang disampaikan pada
Tuhan. Tari yang mengekspresikan spiritualitas (Foto ist.)
Tuhan dalam kaitan pemahaman seni tidak selalu merujuk pada sebuah religi yang boleh atau tidak boleh
mengungkapkan diri melalui ”gerak”. Tetapi ”gerak” adalah sebuah pernyataan
jiwa yang dalam atas kesadaran diri sebagai manusia.
Tari kontemporer yang telah membebaskan diri dari ikatan adat, tradisi,
tata nilai yang menjadi pagar dalam drajat keluhuran dari sebuah komunitas
merupakan sebuah jalan yang sangat spesifik untuk melakukan pendekatan diri
sebagai realitas imanensi kepada realitas transendental. Indivisu yang bersifat
’humannitas” pada realitas yang bersifat ’spiritualitas”. Ini mengisyaratkan,
bahwa tari tidak dipahami sebagai sebuah peresentasi yang ditujukan untuk
menghibur, menyemarakkan sebuah perhelatan, berpoya-poya dalam dunia yang nyata, membangun realasional yang
sangat emosional sehingga mempu menghilangkan sekat norma dan etika. Semua itu
adalah gambaran yang semu; Nirmakna
(tidak bermakna).
Tari adalah sebuah usaha membuat orang menjadi tergugah gairah emosi
humanitas dan sekaligus spirutualitasnya
dalam mengenali realitas yang absolut (yang nyata dan yang tidak nyata)
sehingga mereka dapat menemukan tempat pencurahan batin (jiwa) yang paling mendalam, dan sekaligus
yang paling hakiki sebagai manusia. Maka tidak mengherankan Romo Dick Hartoko
(alm) menyataan ”seni adalah sebuah jalan lain jika manusia ingin bertemu Tuhan”.
Tentunya bukan berarti jika manusia ingin bertemu Tuhannya cukup dengan menari.
Penulis : Robby Hidajat
Editor :
H Gumelar
Posting Komentar untuk " Humanitas, Spiritual, Dan Estetik Dalam Seni Tari (bagian 4)"