Damariotimes. Ketika tari telah menjadi sebuah ”komuditas” ; jasa ketrampilan yang secara umum dipandang sebagai sebuah pernyataan (ekspresi) yang bersifat imitatif terhadap hal-hal yang berada disekitar kita. Maka nilai etika moral mulai dipinggirkan, tetapi digantikan dengan aspek ”aktraktif”, menghibur, dan fulgar. Gerak lebih ditonjolkan sebagai saranan untuk membangkitkan daya tari emosional, bahkan sensualitas agar orang lain dapat menikmati getarannya. Termasuk getaran yang ditimbulkan dari ungkapan yang bersifat ”komedian”. Jiwa yang dalam menjadi tidak penting, penghayatan lebih ditekankan pada aspek teknis dan ketrampilan mekanistik.
Menirukan realitas yang diekspresikan melalui tari (Foto ist.)
Humanitas manusia ditemukan atas kemampuan untuk
mengimitasi realitas, maka tidak menutup kemungkinana jika salah seorang tokoh
tari modern dari Amerika menyatakan. Tari itu adalah sebuah ungkapan, sebuah pernyataan, sebuah ekspresi dalam
gerak dan memuat komentar-komentar terhadap realitas yang tetap bertahan di
benak penonton setelah pertunjukan selesai. Pernyatan tersebut jelas benar, bahwa
tari adalah sebuah ketrampilan yang dikondisikan untuk memciptakan menipulasi
gerak agar orang lain merasakan realitas yang secara tekniks dari hasil
imitasi. Maka aspek kemampuan ”gerak” sebagai salah satu bahasa tubuh adalah
sebuah kecerdasan dalam meyerap dan mengungkapkan realitas melalui sistem
menirukan (imitatif).
Hakekat humanitas (kemanusiaan) yang dapat dicari pada bentuk-bentuk tari
yang tidak lagi diciptakan dalam lingkungan tradisi besar (istana) adalah
kebebasan manusia dalam menirukan sesuatu. Karena ”meniru” merupakan dasar dari
sebuah kebudayaan manusia, sifat alami dalam perkembangan mentalitas.
Penulis : Robby Hidajat
Editor : H Gumelar
Posting Komentar untuk "Humanitas, Spiritual, Dan Estetik Dalam Seni Tari (bagian 3)"