Humanitas, Spiritual, Dan Estetik Dalam Seni Tari (bagian 2)

Damariotimes. Berdasarkan pengertian dan jenis gerak yang diekspresikan oleh manusia sebagai realitas kebudayaan, sudah barang tentu akan berurusan dengan aspek kemanusiaan (Humanitas), yaitu gerak sebagai ekspresi jiwa tentunya tidak semata-mata untuk kepentingan hiburan, tetapi sebuah peroses pencarian hakekat eksistensi manusia. Tari adalah sebuah aktivitas yang membawa manusia pada sebuah dunia yang mistrius tentang realitas tubuh manusia.

Hudoq; tarian ritual dari Kalimantan (Foto ist.)

Tubuh bukan seonggok daging yang ditopang oleh sejumlah tulang dalam rangkaian pola konstrukti yang sangat sempurna di bandingkan dengan perwujudan makhluk-makhluk Tuhan yang lainnya. Kenyataan tersebut dapat diyakini, bahwa menari yang dikenali sebagai ”gerak tubuh”. Tari yang pernah tumbuh dalam masyarakat suku terasing (primitif) adalah gambaran yang nyata tentang cara-cara memahami diri dan dunianya. Jika orang melihat aspek-aspek yang sangat bersahaja, itulah pantulan (replektor) kesadaran hidupnya. Maka ’tari” bukan semata-mata sebagai konstruksi  mekanistik dari tubuh yang trampil, tetapi sebuah hasil penghayatan realitas kehidupan yang ditangkap oleh indra dan dipantulkan (repleisi) dalam bentuk gerak yang estetik (indah), indah dalam tataran yang hayatan (apresiasi) adalah ”daya hidup”, ”emosi”, ”getaran hayatan”.

Pada tataran komunikatif; Gerak yang disebut ”Indah” adalah gerak yang memiliki emosional, sensitifitas terhadap realitas, mengusung berbagai aspek etika dan moralitas, serta penghayatan spiritual dan keluhuran. Seberapapun bebasnya orang bergerak dalam ”kontek menari” tentu mengabarkan tentang suatu ”realitas” zamanya, dan sekaligus aspek kejiwaan dari senimannya. Perhatikan salah satu tari Jawa; sebuah pernyataan yang terkait dengan etika dan moralitas normatif. Menari dengan mengenakan kain (Jarit) bukan sebagai mode ”zadul” (Zaman dahulu) tetapi gerak yang diekspresikan benar-benar terkait dengan ranah budaya yang menyangganya.

Wanita Jawa dapat dikenali sebagai wanita ketika tampil dan berpenampilan dalam ruang budayanya. Maka jika norma etika susila itu dilanggar maka akan kehilangan identitas sebagai ”wanita Jawa”. Dalam sejarah tari yang tumbuh dalam tradisi kecil (tradisi masyarakat kebanyakan) yang dianggap memiliki etika susila yang rendah, akan direvisi sedimikian rupa akan menjadi etis oleh tradisi besar (tradisi kaum bangsawan). Tolok ukur humanitas dalam tradisi Jawa adalah sebuah tata nilai dan kepatuhan yang sangat memegang teguh ”kehalusan”, ”kesopanan”, dan mampu menahan emosi yang besifat vulgar (seronoh). Wajah yang datar, seyum yang ditahan, gerak yang lembut dan lamban, tidak menonjolkan ambisi, mampu mengendalikan diri dalam ruang budaya berorientasi pada penghayatan keluhuran budi. Selain dari pada itu juga tatanan (konstruktif) yang mencerminkan tata aturan yang konstan (ajek), artinya tidak dapat dilanggar ketentuannya. Jika hal tersebut dapat dipenuhi, maka muncul aspek ”keluhuran hakekat kemanusiawinya”.

Tuntutan etika moral semacam itu dibutuhkan media pengkondisian, yaitu tata dan pranata konstruktif yang ditujukan pada gerak. Karena ada pemahaman bahwa gerak itu adalah cermin dari perasaan dari gejolak emosional yang terungkap melalui tanda-tanda yang tidak disadari (sintum). Oleh karena itu, semua konstruksi gerak dalam tari Jawa dikonstruk atas kesadaran dan bertujuan untuk mempolakan ungkapan tanda-tanda yang tidak disadari (sehingga terbentuk otomatisasi).

 

Penulis        : Robby Hidajat

Editor         :  H Gumelar 

 

Posting Komentar untuk "Humanitas, Spiritual, Dan Estetik Dalam Seni Tari (bagian 2)"