Koreografi Kolaboratif dalam Interaksi Silang Budaya di Abad XX

        Damariotimes. Fenomena koreografi yang melanda Indonesia di akhir abad XX telah terjadi interaksi silang budaya, Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan hubungan yang telah dirintis pada akhir tahun 1970-an, pergaulan koreografer Indonesia dengan berbagai komunitas mancanegara. Pada awalnya terjadi adanya event-event festival yang diselenggarakan di dalam dan di luar negeri. Format dialogis yang terjadi ternyata tidak hanya sebatas tampil dalam event yang sama, melainkan berlanjut pada penampilan di atas panggung pertunjukan, atau di luar panggung pertunjukan.
Seni tari tradisi masih menjadi modal potensial (Foto ist.)
        Usaha kreatif dalam melakukan kegiatan kolaborasi ini juga telah diawali oleh Sardono W. Kusumo dengan Elisa Monte (koreografer dari Amerika Serikat) (Sedyawati 1989). Ni Nyoman Sudewi (ISI Yogyakarta) dengan basic tari Bali, serta Didik Nini Towok dengan penampilannya yang komikel itu berusaha menciptakan nuansa estetik silang budaya dengan kelompok Butoh. Butoh adalah sebuah bentuk koreografi asal Jepang yang lahir pada dekade tahun 1960-an. Sebagai pelopor gerakan tari ekperimental adalah, Tatsumi Hajikata, yang kemudian dilanjutkan oleh Kazuo Ohno. Penampilan koreografinya yang berbasic eksperimental dengan menggali penderitaan menyedihkan para korban perang dunia II. Menampakkan ekspresi gerak yang tampak buruk. Tubuh yang meleot-leot serta jari-jari tangan yang digerakkan patah-patah, sangat kontras dengan penampilan Ni Nyoman Sudewi dan Didik Nini Towok. (warta MSPI, 1999)
        Fenomena kolaboratif dalam ranah silang budaya ini tampak tidak semudah problematik dari perpaduan elemen tari etnik gaya Bagong Kussudiarjo dalam karyanya Gema Nusantara. Karya Bagong Tersebut menampakkan Kompleksitas dan kemampuan meleburkan diri dalam suatu nuansa estetik yang khas, serta perpaduan yang dapat saling memberikan ruang ekspresi dari pelaku-pelakunya.
        Kondisi mutakhir akhir abad XX memberikan tantangan yang tidak ringan bagi perguruan tinggi, karena kenyataan tersebut harus dihadapi. Tetapi setidaknya kondisi tersebut memberikan wawasan tentang suatu metode koreografi yang tidak hanya bertumpu pada teknik konvensional (Bersumber dari tradisi tari modern Amerika), namun dapat disajikan secara lebih luas, bahkan jika mungkin lebih mendalam dalam konsep dasar dari keberadaan kehadiran koreografi tersebut.
        Beban berat perguruan tinggi kesenian (tari) tidak dapat ditanggulangi dengan cepat, apabila tidak mengambil langkah strategis, yaitu fokus pada upaya untuk mendorong mahasiswa pascasarjana agar menemukan pendekatan yang mampu menginspirasi dunia koreografi internasional. Penanggulanaannya adalah dengan salah satunya memposisikan perguruan tinggi sebagai agen pembaharuan, misalnya dengan cara menghadirkan peristiwa tari dalam kampus, mengadakan kolaborasi dengan berbagai koreografer, workshop teknik tari alternatif, mencari pendekatan koreografi non konvensional.  Dengan demikian pergaulan antar budaya akan melahirkan pengembangan keilmuan, bahkan membangun budaya kreatif yang mampu menunjukan eksistensi corak koreografi ke-Timur-an.

 
Penulis     : R. Hidajat
Editor       : Muhammad Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Koreografi Kolaboratif dalam Interaksi Silang Budaya di Abad XX"