Damariotimes.
Malang, 13 Mei 2023 di Kota Malang tumpah ruah orang membawa tumpeng yang
diarak dari Kayutangan menuju depan Kantor Balai Kota di Jl. Tugu Malang.
Arak-arakan tersebut di bimbing (sebagai cucuk lampah) para punakawan, atau
tepatnya tokoh seni pertunjukan yang berperan sebagai orang kecil, rakyat
jelata yang tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan apapun. Tapi mereka yang
banyak mempunyai ide pembaharuan, karena cerdik, kritis, dan waskita. Mampu
menangkap dibalik realitas. Pendek kata, yang memiliki center of interest
pada acara peristiwa itu adalah Besut dan Patrajaya.
Besut sedang memberikan sambutan pada saat start pemberangkatan kirab tumpeng (Foto ist.) |
Seperti
yang telah dimaklumkan, orang Jawa Timur pasti mengetahui tentang tokoh
legendaris Bernama Besut. Seorang laki-laki yang berusia telah muncul dikhasanah
seni pertunjukan hiburan rakyat pada tahun 1920-an di Desa Besuki, Kecamatan
Sumbito, Jombang, Jawa Timur. Seni pertunjukan yang dimainkan dengan cerita
problematika kehidupan rakyat sehari-hari dicatat dengan sebutan Besut atau
ludruk Besutan.
Besut tampil
bersama paman Jamino, sosok seorang laki-laki yang cerdik, pandai bicara yang
selalu komen untuk menyentil situasi sosial dengan parikan-parikannya. Duet Besut
dan paman Jamino ini menjadi simbol tokoh yang kritis, mereka mampu menjelaskan
masalah dengan caranya sendiri.
Di sisi yang lain juga bertemu
dengan Paman Patrajaya, abdi dalem dari Raden Gunungsari. Patrajaya ini
dipahami sebagai patrap, atau tingkah laku, etika, moralitas yang jaya (luhur).
Patrajaya adalah seorang yang mempunyai moralitas luhur. Sesuatu yang sangat
luar biasa Patrajaya meninggalkan bendaranya di Kediri datang ke Malang untuk
menunjukan moralitas yang luhur sebagai rakyat.
Selain dari pada itu, Besut,
Paman Jamino, dan Patrajaya juga didukung oleh kehadiran tokoh-tokoh hebat yang
tidak tampak hebatnya, mereka benar-benar datang menyaksikan perhelatan dari
ndoro-ndoronya manghayu bagyo dengan menyelenggarakan “Kirab 109 Tumpeng”.
Mereka adalah punakawan Semar -Bagong, tokoh ini juga terdapat pada wayang kulit
purwa atau wayang topeng, mereka adalah abdi dari Panji Asmarabangun, dan Jurudyah
dan Prasanta. Dua tokoh ini timbul dalam lakon Gatotkacasraya karya Empu
Panuluh; cerita tentang Raden Gatotkaca yang membantu saudara sepupunya
Abimanyu melamar putri dari Prabu Krisna. Jurudyah dan Prasanta menasehati para
bendaroronya (majikan), untuk menghadapi
permasalahan jangan menggunakan perasaan. Bicarakan dengan jelas, pasti akhirnya juga akan jelas. Mereka merupakan saksi, bahwa dalam sastra klasik Jawa selain membicarakan para bangsawan dan juga membicarakan orang-orang bisa yang tidak biasa, yaitu kritis jika perasaannya terusik.
permasalahan jangan menggunakan perasaan. Bicarakan dengan jelas, pasti akhirnya juga akan jelas. Mereka merupakan saksi, bahwa dalam sastra klasik Jawa selain membicarakan para bangsawan dan juga membicarakan orang-orang bisa yang tidak biasa, yaitu kritis jika perasaannya terusik.
Tujuh punakawan yang hadir atau
dihadirkan dalam Kirap 109 Tumpeng di Kota Malang berjumlah 7 tokoh. Tujuh atau
Pitu, atau Pitulungan. Mereka menjadi penolong, tentunya hal ini
sangatlah mendalam dalam pemikiran Jawa. Karena tolong-menolong itu merupakan
suatu sikap, atau patrap, etika moralitas yang ada dalam Jiwa budaya Jiwa. Patrap itu memang sejak jaman dahulu kala memang
tumbuh dalam jiwa-jiwa yang lemah, jiwa yang tidak berdaya, jiwa yang memang
tidak memiliki beban berat dalam memikirkan dirinya sendiri, yaitu punakawan.
Penulis : R. Hidajat
Editor : Muhammad ‘Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Besut dan Patrajaya muncul pada Kirab 109 Tumpeng di Kota Malang"