Damariotimes.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari “Kemerdekaan Guru,
Eksekutor Hidup dan Mati Kemerdekaan Murid!” sebagai berikut:
Suasana Pembelajaran di dalam kelas (Foto Ist.) |
Namun
kembali lagi pada esensi pendidikan, khususnya menurut pandangan islam, bahwa
sejatinya pendidikan adalah motor yang menjadi pemimpin manusia untuk menjadikannya
berahlak mulia dan tetap membuka diri terhadap pengaruh dari dunia luas. Membuka
diri tanpa terpengaruh. Pengetahuan dunia dan ahlak mulia adalah modal
dasar bagi setiap manusia untuk memanusiakan manusia lainnya. Memberi kemaafan
dan pemakluman bagi kekurangan sekitarnya. Menyuarakan kebenaran dengan arif di
atas kesalahan dan tumpang tindihnya kenyataan antara aturan dan pemahaman.
Menjadi manusia seutuhnya dengan memahami potensi dalam dirinya namun tetap
berterima dengan perbedaan atau pluralitas Indonesia khususnya, dan dunia pada
umumnya, serta tetap menjaga keimanan kepada Tuhannya. Karena dengan begitu,
manusia memiliki pedoman, dalam menentukan pilihan hidupnya, menjadi apa,
bagaimana proses memperjuangkannya, bagaimana peluang dan risiko yang akan
dihadapinya dan bagaimana setelah ia mampu melalui semua prosesnya.
1. Kurikulum
Merdeka Belajar, untuk Belajar Merdeka
Guru!
Ya,
dalam hal ini guru adalah ruh terpenting dalam pembelajaran dalam proses
memanusiakan manusia. Sistem pembelajaran, sarana dan kondisi sekolah,
kurikulum, dan perangkat lainnya adalah
rangkaian piranti yang tidak dapat dipisahlan terciptanya sebuah ekosistem
pendidikan yang layak. Namun entitas seorang guru adalah kebutuhan hakiki dalam
sebuah pembelajaran. Guru adalah jantung pendidikan yang wajib berdetak untuk
menghidupi setiap sendi kehidupan Pendidikan, khususnya di era merdeka belajar
dan belajar untuk merdeka.
Guru
yang mampu memerdekakan dirinya dari setiap kekangan, meski itu aturan sekali
pun adalah modal utama keberhasilan pembelajaran.
Saya
menjadi teringat dua film inspratif yang berasal dari Indonesia dan tetangga
kita yang kental budaya, India puluhan tahun lalu. Pertama, Laskar
Pelangi yang digubah dari Novel Andrea Hirata serta kedua, film
hindustan yang mengemas kisah cinta, melalui alur pendidikan kampus, Mohabbatein.
Betapa ketulusan cinta seorang guru dengan variabel karakter peserta didik
wilayah pesisir mampu melahirkan novelis besar sekelas Andrea Hirata.
Betapa seorang mahasiswa, Raj Aryan Malhotra, dikisahkan terusir dari kampus
besar karena kisah cintanya, memiliki komitmen yang luar biasa untuk kembali
dan mendobrak sistem belajar yang melarang musik menjadi bagian pembelajaran.
Keduanya bukan dicetak menjadi apa? Melainkan ingin mewujudkan apa? Bukan
membentuk dirinya menjadi kendraan, melainkan menjadikan ilmunya, kendaraan
pewujud mimpinya. Penulis dan Pemusik, Mantan Ekonom dan Guru Musik.
Bukan
tentang film semata, namun tentang muatan moral dan dedikasi seorang guru dalam
mengantar peserta didiknya menjadi bagian dari dunia yang multikural dan tetap
bertahan dalam jati dirinya, mencintai dan menerima ke dalam dirinya dan mampu
tetap eksis dalam setiap terjangan perubahan dunia. Dan berhasil membudayakan
karakter pada peserta didiknya. Diperlukan sebuah institusi khas dalam
pembelajaran yang mampu menampung
kompetensi peserta didik, baik intra maupun ekstra.
Semoga
Indonesia selalu mengawal guru dan pendidikan sebagai eksekutor hidup dan mati
sebuah peradaban manusia. Peradaban sebuah bangsa. Bagian dari beradabnya
dunia. Berhenti berputar dalam keribetan istilah dan nomenklatur,
melainkan membantu aliran aksi nyata kemerdekaan yang sesungguhnya. Semangat
merdeka belajar! Selamat membelajarkan kemerdekaan manusia!
Wallahua’lam
bisshawab.
Kontributor : Dwi Ariana
Editor : Muhammad ‘Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Bagaimana Sejatinya Kemerdekaan Belajar Itu Diterapkan? (bagian 2)"