Damariotimes. Tentang ritual kesuburan
yang dilakukan dengan saranan pertunjukan tayub
di Jawa Tengah. Ritual kesuburan, dalam hal ini pertunjukan tayub dilaksanakan pada saat panen akan
dimulai. Penyelenggaranya berharap agar tanaman daoat berhasil dengan baik,
dalam kaitan ini pasti akan berorientasi pada aspek ekonomi.
Penyelenggaraannya dijatuhkan pada saat
panen, hal ini kemungkinan besar juga dimaksudkan sebagai ritual terima kasih
kepada Yang Maha Kuasa, bahwa penennya
telah berhasil.
Tempat
penyelenggarannya kebanyakan di pinggir sawah, dan penari pria atau pengibing yang pertama tampil bersama ledhek adalah tetua desa. Di beberapa
tempat, tari berpasangan antara tetua desa yang mengawali ngibing dengan ledhek
disebut “bedah bumi”, yang secara harfiah berarti ‘membelah bumi’, istilah bedah bumi ini sudah jelas memberikan
adanya perlambangan keterkaitan antara
tari berpasangan yang melambangkan hubungan antara pria dengan wanita, dengan
tanah yang akan dibedah atau dibelah untuk ditanami benih padi.
Secara simbolik dapat menunjukan adanya
visualisasi hubungan seks itu hanya bisa ditangkap lewat gerak maknawi ciuman
dari jarak yang tidak terlalu rapat, tetapi adegan ini sudah cukup melambangkan
adanya hubungan (seks) antara pengibing dengan
ledhek.
Istilah
bedah bumi yang dipergunakan
untuk menamakan duet ini
berangkali dimaksudkan sebagai
perlembangan dari tindakan ‘membelah
rahim wanita’ yang kekuatan magis simpatetisnya akan mempengaruhi kesuburan
penanaman benih pada lahan sawah yang
telah diolah.
Ben Suharto dalam bukunya berjudul:
Tayub: Pertunjukan & Ritus Kesuburan.
Menjelaskan istilah ‘bedah bumi’ sebagai berikut: Istilah bedhah bumi sebenarnya
dipakai pula untuk menyebut seorang yang mendapat kehormatan
untuk menari pertama sebagai pemuka. Menurut pengertian kata perkata, maka
jelas bahwa bedhah bumi berarti membelah
bumi atau tanah, baik itu dengan cara mencangkul atau dengan cara lainnya.
Tetapi rupanya bagian ini dapat dikatakan berkaitan dengan kesuburan tanah.
Sehingga secara simbolik berhubungan erat pada ritual kesuburan. Mempelai
laki-laki sebagai lazim dianggap raja sehari telah mendapat kesempatan sebagai
pembuka.
Semua cerita di atas pada saat ini sudah
tidak dapat dijumpai dalam pengertian yang sebenarnya, karena sawah-sawah telah
menjadi perumahan rakyat. Sehingga hanya beberapa petak sawah yang
dipertahankan oleh pemiliknya karena ada hubungan emosional dengan tempat
tersebut. Sehingga mereka juga harus mengubah orang untuk menanam. Sungguhpun
hasilnya juga tidak dapat dinikmati secara ekonomis.
Tayub pada saat ini sudah berubah
fungsinya sebagai sarana untuk menjalin hubungan kekerabatan antar pengembar.
Mereka mengadakan arisan secara bergilir untuk menggelar tayuban. Sehingga orientasi
yang semula ritual menjadi profan. Seperti yang dikemukakan oleh Mei Triyanto,
yang akrab dipanggil dengan sebutan Cak Kancil. Saat ini sudah menjadi tokoh pengibing
yang beken di Malang. Setiap saat sudah tidak dapat melewatkan acara tayuban,
karena telah menjadi kebutuhan sosialnya.
Penulis
: Robby Hidajat
Editor : Muhammad ‘Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Tayub Sebagai Ritual Kesuburan Sudah Tidak Ada Lagi"