Damariotimes. Jika harus mengambil
sikap menyelamatkan kekayaan masalalu dan sistem pola sosial yang telah
terakumulatif secara kontinu dari waktu dan ruangnya, setidaknya dibutuhkan
tindakan memahami pola pemikiran ”global”, dengan demikian pengertian ”lokal”
juga dengan sendirinya dibutuhkan pemahaman yang lebih bijaksana. Maka tidak
ada upaya yang menyita pikiran dan emosi masyarakat dan senimannya dalam
perlombaan menuju pengakuan ”global” atau merasa bahwa mereka masih ”lokal”.
Sikap ini menuntun pada sebuah pemahaman, bahwa ”lokal-global” bukan sebuah
jalan lain menuju pada suatu titik kualitas, tetapi adalah sebuah sikap yang
bersedia untuk membuka seluruh kesadaran tentang hukum perubahan, seniman dan
masyarakat harus berubah dalam memberikan arti penting dalam kehidupan ini
dengan cara bersedia mentransformasikan nilai-nilai yang melekat pada dirinya
atas dasar pengalaman masa lalu untuk memberikan arti penting dirinya dan
karyanya pada masa depan. Kondisi ini seringkali menampakan ketidaksiapan
seniman dan masyarakat, karena dalam pikiran kita ”global” adalah sebuah pasar
yang merubah nasib seniman yang miskin menjadi milyader. Maka proses kreatif
hanya dimotivasi oleh aspek-aspek ekonomis yang bersifat praktis, bahwa
ditonton oleh ”bule” akan mendatangkan uang, dipentaskan di luar negeri adalah
sebuah kesempatan mendapatkan uang yang berlipat, ketimbang dipentaskan di
sebuah hajatan.
Pemikiran yang bersandar
pada mentalitas ekonomi tersebut menjadi realitas yang bersifat hegemonitas
yang sengaja memperlemah posisi dialogis masyarakat dunia ke tiga dalam
mengekspresikan diri dalam memaknai jiwa zamannya. Jika dunia ini sudah
terlanjut dikondisikan terjadi dikotomis antara ruang waktu lampau dan ruang
waktu kontemporer, hal ini bukan berarti ada sebuah ”perlombaan”. Tetapi sebuah
gerak progresif yang selalu membelajarkan masyarakat dengan sadar ada sebuah
evolusi sikap sosial yang nyata bergerak meninggalkan kebiasaan masa lalu, dan
serta merta juga menggunakannya sebagai acuan yang secara tidak disadari
melekat atau terbawa.
Isu ”global” membuat
tuntutan kerja kreatif seniman semakin nyata, yaitu berkaya untuk memberikan
makna pada pola sosial yang sedang bergerak menuju dunia baru dalam taraf
kesadaran dan ruang lingkup tertentu, artinya secara lebih tegas seniman
diharapkan mampu menjadi agen perubahan, karena kekacauan dalam memahami
globalisasi adalah dikarenakan sikap yang tidak siap mengalami perubahan.
Tuntutan seniman pada sebuah ruang lingkup
tertentu akan sangat berbeda-beda, bagi mereka yang hidup di pesisir dengan
persoalan dan pola sosialnya yang bergulir secara kontinu serta kebutuhan
mereka dalam situasi dan posisinya akan bergerak dinamis menurut kebutuhannya,
sementara seniman yang berada dalam percaturan yang lebih luas akan bergerak
dan berevolusi merurut ruang lingkup dan pola sosialnya sendiri. Maka
karya-karya seniman yang berada pada ruang sosial metrologis tidak dapat
dipaksakan untuk ditampilkan dan digunakan memaknai pada kehidupan masyarakat
pesisiran, demikian juga sebaliknya.
Kesadaran ini seringkali
tidak demikian, beberapa instansi atau institusi yang menganggap memiliki
kewenangan dalam ”membina” kebudayaan selalu memaknai ”progresivitas” dalam
rentang antara ”desa – kota”. hal ini
ada indikasi yang tidak bijak, tetapi upaya itu terus dilakukan dengan berbagai
alasan dan bentuk kegiatan proses kreatif yang menciptakan bergesernya para
pelaku kreatif merasa tidak mampu lagi mengadakan kontak sosial dengan seniman
lainnya.
Penulis : R. Hidajat
Editor :
Muhammad ’Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Membangun Mentalitas Seniman di Era Global"