Damariotimes.
Ludruk adalah drama rakyat khas dari Jawa Timur, yang dilahirkan oleh
masyakarat yang sehari-harinya mengunakan bahasa Jawa dialek Jawa Timur,
seperti halnya ketoprak, genre yang pada tahun 1950-an menyaingi ketoprak di
wilayah Jawa Timur.
Ludruk sekarang
adalah berbentuk drama ujar yang
bersifat realistik. Setiap pertunjukan
dimulai dengan tari tradisional Ngremo dan nyanyian modern, serta
tari-tarian bisa disisipkan diantara adegan, tetapi kebanyakan lakon adalah
komedi domestik kontemporer. Musik gamelan bisa dipergunakan sebagai latar belakang atau efek perasaan. Hubungan utama antara ludruk sekarang dengan yang
lampau adalah bahwa kaum pria masih memainkan semua peranan. Kehadiran peniruan
wanita dalam sebuah kebalikan bentuk seni pertunjukan realistik adalah satu
penyimpangan artistik. Oleh sebab itu
penonton di Jawa memandang ludruk sebagai sesuatu keanehan seksual.
Sejak awal bertumbuhnya
dan berkembang di berbagai kota di Jawa Timur,
salah satunya wilayah pementasannya adalah Surabaya sebagai pusat
aktivitas ludruk. Pada mulanya ludruk berasal dari atraksi kekebalan yang
disebut ludruk lerok, yaitu tumbuh sekitar abad XVII; sebuah demonstrasi magis
tentang kekebalan yang dipertunjukan dengan diiringi seruling, gendang, dan sebuah gong kecil dari
perunggu.
Selama permulaan abad ke XX, pertunjukan ini berubah,
berkembang menjadi ludruk Besutan. Pemain utama, yaitu besut membuat banyak
saji-sajian animistik sebelum menarikan siklus kehidupan manusia, dari
kelahiran lewat percumbuan, perkawinan, dan perumpamaan perbuatan dewasa sampai
kepengetahuan dari diri pribadi yang terakhir.
Sekitar tahun
1920-an ludruk Besutan merupakan seni pertunjukan rakyat yang dipertontonkan
pada masyarakat di Surabaya dan di
desa-desa di daerah Mojokerto. Pertunjukan berlangsung dari pukul 10.00 WIB
malam sampai menjelang pagi. Selagi peranan-peranan
begitu menggoda, hanyalah laki-laki para pemainnya.
Pada tahun
1930-an beberapa pemain ludruk Besutan laki-laki ini mulai mempertunjukan
cerita-cerita petualangan yang dipinjam dari rombongan-rombongan teater
bangsawan Malaya (khususnya berasal dari Penang) yang berkunjung, pertunjukan
komersial itu pada saat-saat tertentu mengadakan pertunjukan di kota-koka besar
di Jawa, termasuk ke Surabaya. Hal ini tampaknya sangat wajar, ludruk
berkembang mencari ruang gerak sosialnya, yaitu masyarakat perkotaan. Mereka
tidak lagi hanya bermodal pada cerita rakyat dan problematika keluarga karena
kemiskinan.
Di Kota
Surabaya sejak tahun 1930-an seni
pertunjukan ludruk sudah berkembang. Pada waktu itu, menjadi salah satu seni
pertunjukan yang populer dikalangan masyarakat. Pada tahun-tahun yang dipandang
sulit secara ekonomi, orang-orang ludruk sudah mengalami kejayaan. Bahkan ada
rombongan yang paling populer yaitu
Ludruk yang dipimpian oleh Cak Gondo Durasim.
Masyarakat
Surabaya mengenal perkumpulan ludruk pimpin oleh Cak Durasim. Cak Durasim
benar-benar menjadi pertunjukan nomor satu. Seperti perkumpulan ludruk Malang
Selatan atau Persadar di Malang pada tahun 1950-an.
Cak Durasim,
demikian panggilan akrabnya, orangnya sangat ramah dan periang. Tujuannya hanya
ingin sekali tetap melestarikan ludruk
Besutan. Sebuah penampilan ludruk yang sederhana, akrab dengan masyarakat. Hal
ini sangat berbeda dengan Luduk Marhen. Ludruk yang sudah benar-benar menjadi
konsumsi masyarakat menengah ke atas. Banyak aktivitas partai politik yang
menjadi penggemarnya.
Cak Gondo
Durasim menggagas permainan ludruk yang berakar dari pelawak. Beliau terobsesi sebagai Besut,
bahkan juga di dukung oleh temannya yang bernama Dauk, berperan sebagai Asmunah. Kelompok
kecil ini menjadi bentuk perlawanan ludruk modern.
Tokoh
Besut dan Asmunah ternyata sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat luas
yang selalu menjadi corong berbagai perasaan sebagai keluarga miskin. Baik yang
dilakukan oleh partai politik maupun oleh pemerintah, Fenomena ini mampu
menilhami Pak Wardoyo, seorang wartawan.
Peran sebagai
pelawak, Cak Gondo Durasim memiliki peluang untuk mengekspresikan kemampuannya
dalam menampilkan sindiran-sindiran lewat kidungan-kidungannya. Dr. Soetomo,
tokoh Pergerakan Nasional pada saat itu sangat tertarik pada kemampuan Cak Durasim. Utamanya lantunan
kidungan yang bersifat
sindiran-sindiran terhadap
kondisi politik, baik pada Belanda ataupun Jepang. Sindiran itu benar-benar
sangat mengena dan mengena, hingga ia diberi kesempatan untuk tampil secara
tetap sampai tahun 1936. Nyanyian kidungannya bisa mengobarkan semangat
perjuangan bagi aktivias pergerakan Nasional, antara lain sebagai berikut:
Jumat Legi nyang Pasar Genteng
Tuku apel nyang wonokromo
Merah Putih kepala Banteng
Genderane Dr. Soetomo
Pada zaman masa pendudukan Jepang, sejak tahun 1942 pertunjukan ludruk komersial masih terus berjalan dengan baik, walaupun selalu mendapat pengawasan. Bahkan, pemerintah Jepang sendiri sering pula memanfaatkan untuk keperluan propaganda. Hanya saja kelompok Ludruk Durasim yang memang bersal dari kalangan rakyat, sering ingin mengungkapkan perasaan-perasan rakyat. Ada beberapa kidungnya yang melontarkan perasaan kekecewaaannya kepada pemerintah Jepang, sebagai beikut
Pegupon omahe doro
Melok Nipon tamah sengsara
Tuku klepon dhuk stasiun
Melok Nippon ga oleh pension
Dengan
sindiran-sindiran itu pemerintah Jepang mulai khawatir akan akibat yang lebih
jauh. Maka dipanggillah Cak Durasim,
dan menemui ajalnya di siksa oleh tentara
Jepang. Kidung yang merupakan ciri khas dari pertunjukan ludruk memang mampu
menyindir apa saja dan siapa saja.
Selama dan
setelah perang dunia II. Ludruk membentuk menjadi rombongan-rombongan
professional, dan ada yang berafilasi pada gerakan pejuang kemerdekaan, serta
bagian dari partai politik. Mereka menyebut diri secara sederhana sebagai ludruk dan mungkin karena rombongan-rombongan
ketoprak telah memiliki lebih dahulu
repertoar sejarah dan lakon-lakon petualangan, mulailah ludruk memanggungkan lakon-lakon
yang mengambarkan kehidupan Jawa modern yang mampu menyuarakan semangat
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Penulis : R. Hidajat
Editor : Muhammad ‘Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Nilai Patriotisme Ludruk Jawa Timur"