Damariotimes. Pendidikan seni, khususnya di
Indonesia sulit menyentuh teater. Kenapa demikian?. Secara formal berbagai
instansi pendidikan mengadakan jurusan maupun program studi yang dimaksudkan
‘teater’, bahkan mata pelajaran yang menamakan ‘Teater’ terus diperjuangkan
sebagai pilihan mereka yang ingin mengembangkan bakatnya sebagai aktor. Mungkin
cita-cita itu ingin jadi aktor sinetron. Akan tetapi perlu diingat lebih jauh,
bahwa pembelajaran yang dilakukan adalah
drama. Para seniman teater di Indonesia telah maklum, bahwa teater dan drama
itu berbeda.
Gono Gini (Foto Ist.) |
Melihat perkembangan
pendidikan seni di Indonesia saat ini. Penyebutan teater tidaklah populer,
masyarakat lebih berpihak pada penyebutan seni drama, atau penyebutan lain yang
didominasi dari drama teradisional. Mungkin pikiran ini agak sesat, namun harus
diungkapkan untuk mendapatkan kejernihan.
Perlu disadarai bahwa
teater merupakan cabang seni pertunjukan yang seharusnya dapat lepas dari
cabang seni yang lain. Teater sebagai cabang seni tentunya memiliki displin
tersendiri, teater berangkat dari kata bahasa Yunani kuno; teateron; yang berarti panggung, sedangkan drama
memiliki arti naskah atau cerita, dan memiliki sturuktur dispilin ilmu sendiri.
Aristoteles mengkondisikan drama melalui berbagai peranan yakni yang disebut
pola perilaku yang dapat dipelajari melalui Dramaturgi.
Pendidikan Teater
terdesak untuk bertahan sedangkan kurikulum di Indonesia terkait pembelajaran
Teater masih mengadopsi berbagai peranan-peranan drama yang dimiliki oleh
disiplin ilmu yang berbeda.
Drama berangkat dari
Sastra, sebuah tulisan berupa naskah
yang digunakan sebagai acuan untuk bermain peran, dan menjadi suatu pertunjukan. Orang-orang
lebih berpihak, bahwa drama yang dipertunjukan ialah Pertunjukan Drama, yang
secara umum juga seringkali disebut sebagai teater, seperti festival teater.
Padahal yang ditampilkan adalah drama.
Lalu arti dari teater sendiri merupakan ‘kuli panggung’ dengan
pelaku-pelaku yang siap dimasuki tubuhnya dengan naskah drama yang dibuat
sastrawan, dan sutradara memaksakan orang untuk meninggalkan diri menjadi diri
orang lain (prinsip imitasi). Sebuah keikhlasan bagi pelaku seni teater yang
saat ini terjadi. Beberapa eksperimen dari kalangan seniman teater di Indonesia
sudah memulai mencari pembaharuan terhadap upaya pelepasan menggali eksistensi
teater. Nah, ini yang ingin dicapai. Mungkin hal-hal itu dapat dicapai?.
Pendidikan
nonformal yang diasuh oleh berbagai seniman teater, akhir-akhir ini giat
menghimpun energi untuk menghancurkan pola-pola konvensi lama, mereka ingin
melepaskan diri dari imaji tekstual, ada yang memasuki wilayah kontekstual yang
sudah larut di dalam ruang ekspresi
teater.
Penulis : Muhammad Sirojul Muniir
Editor : Muhammad 'Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Mencari Ekstistensi Teater di Indonesia"