Damariotimes. Mengkaji realitas pada
hakekatnya adalah mempertanyakan eksistensi dan historical; keberadaan setiap
kejatidirian selalu mengusung masa lalu, didalamnya termuat hal ikwal yang
kompleks; termasuk bagaimana pikiran kita memahami sebuah “dunia”.
Para ahli fenomenologi percaya bahwa
“dunia” diciptakan oleh pikiran manusia itu sendiri; karena dengan pikiran
itulah manusia mengenal realitas
pribadinya dan sekaligus kebertahanan hidupnya. Pandangan ini bersandar
pada logika positifistik; yaitu mengakui tentang realitas yang realitsik, yaitu
sesuatu yang mampu dijangkau dan diperbincangkan untuk selalu diperdebatkan dan
atau dikaji secara empirik.
Meditasi (sumber https://www.99.co/blog/indonesia) |
Obah Tapi Gak Owah itu adalah sebuah nilai tentang “kehakikian”.
Dalam pemikiran religius disebut “ke-Esa-an” dalam pemikiran ke-Jawa-an disebut
“tan kinaya ngapa” artinya “jangan ditanyakan seperti apa”, dalam simbol seni
Jawa dikenal “mandala”; dalam pengertian yang harfiah “mandala” adalah “areal”,
tetapi dalam pemikiran filosofis “mandala” adalah ruang yang tidak nyata;
tetapi ada.Dimaknai ”ada”, karena memiliki sumber energi yang mampu menggerakkan
kesemestaan. Termasuk hakekat ”owah – gingsir”, (berubah dan berpindah) adalah
sebuah realitas yang realistik; bahkan menjadi hukum alam atau kodrat sesuatu
yang berwujud. Maka semua yang ada di Bumi ini bersandar pada hukum tersebut.
Maka para pemikir religius selalu menyatakan bahwa sesuatu yang abadi itu
adalah ”perubahan” itu sendiri.
Penulis menyadari, bahwa
lontaran retorik yang seringkali tidak menarik didengar ini sengaja diusung
untuk memperjelas hukum ”owah –
gingsir”, sebuah pemikiran yang mencoba untuk menyimak dinamika kehidupan
tentang ”ke-jati-diri-an”, maka obah ya
obah o, ning aja nganti owah. Ini adalah sebuah pandangan ”paradoksal” yang
umum dalam pemikiran Jawa. Prormat pikiran ini yang seringkali membuat sebuah
staknasi dalam pandangan kontemporer,
sehingga mereka yang menanamkan pemikiran yang bersifat fondamental tersebut
acap kali disisihkan dalam koridor konservatif.
PARDOKSAL
Paradoksal yang menjiwai
”dunia Jawa” menjadi pola pikir yang selalu muncul ketika sesuatu yang bersifat
ke-hakiki-an tidak dapat didiskripisikan (dijelaskan) atau tidak dapat
dijangkau oleh sebuah pokabuler kata-kata Jawa. Ketidak terjangkauan ini
disebabkan ada yang disebut ”wadi”; sesuatu yang tersembunyi; tidak dapat
diceritakan secara vulgar. Tetapi ”sinengker” (disimpan dengan rapat).
Sistem pola pikir Jawa
tersebut adalah menjadi sumber potensial dalam pemburuan makna yang berkaitan
dengan keberadaan sesuatu yang bersifat non realitas, yaitu ”kehakikian”.
Kehakikian dalam pemikiran Jawa adalah ”obah” atau ”gerak”. Apa yang menyebabkan
”obah” orang Jawa selalu menjawab ”karep” (keinginan atau kehendak) yang
bersandar pada ”ambisi” akan mengakibatkan ”owah” (berubah). Tetapi hukum ”owah
– gingsir” bukan ”Karep” tetapi alamiah. Perhatikan segala sesuatu yang tumbuh,
apakah ada orang yang benar-benar mengetahui; kapan tanaman tumbuh besar.
Tetapi ketika tanaman tidak berubah maka tanaman itu dapat dipastikan ”mati”.
Tetapi tanaman yang mati juga disebut ”owah”, karena kemarin hidup, tetapi
sekarang mati.
Pemikiran yang selalu berkecamuk
dalam diri orang Jawa selalu mencarian hal-hal yang bersifat menjauhi realitas;
yaitu pada aspek transendental, sebab realitas hadir selalu dipahami sebagai
”pakartine pancadriya” atau dikenal dalam bahasa arab disebut ”nafsu”. Bahkan
”pakartine pancadriya” yang mawujud
sebagai realitas kognitif sebagai 4 anasir
Fenomana ”pakartine
pancadriya” menunjukan dorongan naluriah
manusia yang tidak dapat dibendung,
yaitu disebut sebagai ”karep” atau keinginan. Inilah yang ditakutkan oleh sebagaian
orang Jawa yang bertolak pada aspek hitorikal. Pekerjaan pancaindra benar-benar
memberikan tantangan yang menyebabkan sesuatu yang ”owah” atau berubah.
Pemikiran Jawa meyakini realitas kognitif
”pakartine pancadriya”, tetapi dilain pihak jalan pembebasan atau upaya keras
mengeliminir relitas tersebut dengan jalan ”Tapa” , ”Semedi”, ”Nyepi” yang
artinya ”diam”; diam itu adalah ”ora obah”,
dan laku-laku yang lain agar semua ”pakartine pancadriya” tersebut tidak menjadi ”karep” atau
”keinginan”.
Skema pemikiran Jawa
yang bersifat paradoksal memungkinkan semua orang mampu mencapai sebuah tataran
yang disebut ”wicaksana”; posisi atau status sifat tersebut diposisikan sebagai
”dalang sejati” atau ”sejatining dalang”. Kata ”dalang” dalam pemikiran ini
bukan dalang sebagai ”artis” atau ”seniman” pencerita wayang. Tetapi ”dalang’
yang dimaksud adalah sifat hidup yang transendental, sehingga dalam aliran
keyakinan Jawa memunculkan pemikiran istilah ”Kawula-Gusti”. Sebuah padu padan
yang bersifat transendental dan sekalukis bersifat imanensi. Tataran ini
menunjukan sebuah kepasrahan dan sekaligus penyerahan jatidiri human ke
jatidiri supra human. Kepasrahan dengan dasar tanpa pamrih adalah sebuah jalan
”datang dan sekaligus kembali”; artinya kehadiran atau kesadaran ”ada” bukan
karena keinginan ada, tetapi ”ada” adalah sebuah kenyataan ”tiada”. Semua yang
ada sebenarnya ”tiada” karena tidak pernah menghasilkan apa-apa.
Semua kesibukan dunia
ini adalah ’selimuran” atau dengan istilah tertentu disebut sebagai ”dinamika
semu”. Tetapi pikiran mendorong sebuah keyakinan Jawa yang telah mencapai
sebuah titik kesadaran supra human tersebut selalu dipengaruhi oleh realitas
yang riel. Bahwa kehidupan ini membutuhkan piranti hidup menunju ke arah
kasampurnan; dengan cara ”polah” yaitu sebuah daya upaya mengatasi berbagai
kesulitan menuju ke-tiada-an. Maka keyakinan tertentu menyebut bahwa hidup ini
adalah ”ilusi” (bayangan), maka yang mencapai kebijakan akan melihat
”kasunyatan”.
OBAH TAPI GAK OWAH itu sebenarnya apakah sebuah ”polah” atau
”kasunyatan”, keduanya tidak dapat ajukan sebagai pilihan, tetapi dengan
melakukan introspeksi yang bersifat tansendensi dimungkinkan dapat menjawab
paradoksal Jawa yang selama ini seringkali diperbincangkan dalam berbagai
diskusi tentang kesenian dan kepercayaan
Jawa.
Penulis : R. Hidajat
Editor : Harda Gumelar
Posting Komentar untuk "OBAH TAPI GAK OWAH: FENOMENA STATIS YANG DINAMIK DALAM PEMIKIRAN JAWA"