Damariotimes. Setelah merayakan lebaran Idul fitri, di akhir bulan Ramadhan. Ibadah puasa sudah selesai, dan ditutup dengan merayakan lebaran Idul fitri. Makanan yang disediakan di rumah-rumah tradisional terdiri dari berbagai macam olahan ikan ayam, termasuk opor ayam. Karena di tahun 1960-an hingga 1970-an, masyarakat desa tidak makan ikan ayam jika tidak di hari lebaran.
Pedagang janur dan ketupat yang sudah dianyam (Foto ist.) |
Sanak
keluarga datang untuk silaturahmi dengan keluarga dan meminta doa restu dan
memohon maaf pada orang tua. Mereka melepas rindu, dan juga menyambung hubungan
kekerabatan. Saudara-saudara yang jauh dan telah beranak pinak, satu sama lain
saling memperkenalkan. Sehingga saudara-saudara yang di desa benar-benar
memiliki kembali hubungan kekerabatan bagi keluarga yang telah merantau di
kota.
Kegembiraan
tersebut memang ada yang berlangsung agak panjang, setidaknya kurang lebih 5
hari atau sepasar. Namun bagi mereka yang sangat sibuk memang dapat bertahan
kurang lebih 3 hari. Bagi mereka yang dapat bertahan hingga sepasar akan
merayakan juga hari raya ke dua yang disebut hari raya ketupat.
Hari
raya ketupa hanya umum dilakukan di Jawa, sementara saudara-saudara yang ada di
Jawa Barat tidak menyelenggarakan hari raya kedua. Hari raya ini bersifat adat,
namun memiliki makna yang mendalam.
Di hari
raya ke dua kuliner yang disipakan oleh keluarga adalah ketupat dan sayur lodeh
beras kacang campur kikil ( kulit sapi ),
sambel goreng atau opor ayam. Ketupat dibuat dari daun janur yang dianyam berbentuk
persegi empat dan memiliki ujung yang dapat diikat. Makna ketupat adalah
‘lepat’ (bs. Jawa) yang artinya kesalahan. Menyantap ketupat bersama keluarga
adalah mengiklaskan segala kesalahan
yang disengaja atau tidak disangaja selama setahun yang lalu. Hal ini
sangat menarik, bahwa ada upaya sosial yang secara bersama-sama di ekspresikan
dengan bahasa simbolik memohon pada sanak keluarga dan juga tetangga. Sudah
barang tentu permohonan maaf yang secara tulus ini dengan senang hati akan
diiklaskan, artinya memang sungguh-sungguh bermakna peleburan dosa.
Bagi mereka yang tidak sempat memasak ketupat, pedagang di pasar sudah menyediakan ketupat dan lepet yang siap saji (foto ist.) |
Bagi mereka orang-orang muda yang
saling bertemu, dengan bercanda menyapa dengan senyum atau tertawa lepas,
sambil berkata mohon maaf lahir batin, kita nol-nol.
Kembali
pada ketupat atau menghaturkan kalepatan, dan juga disertai dengan lepet, yang
memberikan makna yang menegaskan yaitu ‘lepet’. Artinya juga kesalahan, bahkan
jika di buka jajanan yang disebut lepet itu harus diputar berlawanan arah jarum
jam. Hal ini menunjukan, bahwa orang dimungkinkan akan melihat kebelakang dan
mengakui sebaga kesalahan. Semua itu diharapkan dapat dihindarkan dari segala
doa, karena perbuatan yang disebut luput (kelalaian), oleh karena itu
jajanan lepet itu berisi ketan, kembali menegaskan adanya kalepatan.
Ketan
dalam bahasa Jawa juga disebut dengan pulut, beras yang lengkat. Hal ini
memberikan juga pengertian ikatan kekerabatan harus dijaga dengan erat,
sehingga tetap terjalin ikatan yang kuat dan erat. Oleh karena itu, jika
mempunyai kesalahan harus cepat-cepat meminta maaf setidaknya tiga hari setelah
kejadian dan selambat-lambatanya dalam waktu lima hari atau sepasar. Hal ini
telah diekspresikan secara sosial oleh masyarakat Jawa dengan menyelenggarakan
hari lebaran ketupat.
Editor : Marsam Hidayat
Saya sangan kagum dengan daerah Jawa karena memiliki berbagai budaya dan tradisi yang penuh makna, seperti lebaran ketupat.
BalasHapus