Damariotimes. Guru adalah pahlawan tanda jasa; demikian selogan yang membuat para “priayi baru” (priyayi yang bukan trah bangsawan) alias priyayi yang tumbuh dari kalangan rakyat jelata pada awal abad XIX. Kebanggaan menjadi guru untuk masyarakat kelas bawah tersebut sangat luar biasa, kendatipun pendidikan mereka belum ada yang setingkat sarjana. Tetapi kebangaan tersebut tidak seperti kenyataan masa kini, hal tersebut terbukti ketika di selenggarakan seminar guru kesenian oleh Dinas Pendidikan Provensi Jawa Timur UPT Pendidikan dan Pengembangan Kesenian Taman Buday 17 – 19 Februari 2009 di gedung teater Cak Durasi Gentengkali 85 Surabaya.
Seminar
yang diharapkan dapat memberikan angina segar bagi guru-guru kesenian se Jawa
Timur dengan topik “Problematikan Pendidikan Kesenian di Sekolah”. Tetapi apa
yang terjadi, ternyata guru yang dibanggakan sebagai “Pahlawan Tanda Jasa”
ternyata potret dirinya sangat berbeda. Mereka ternyata secara sosiologis, guru
mengalami marginalisasi, artinya matapelajaran kesenian dirasakan sebagai “anak
Tiri”; karena matapelajaran yang di UNAS-kan lebih diperhatikan. Sungguhpun
demikian, tidak seperti pembicara Hisyam, M.Pd. kepala SMP N I Pandaan ternyata
menyikapi berbeda. Kepala sekolah yang sangat piawai berkesenian tersebut
berbeda. Kesenian dipandang sebagai aspek strategis mendidik, bahkan diangap
dapat membuat siswa produktif dan sekaligus kreatif. Hal ini terbukti bahwa
karya kreatif siswanya telah dikenal di berbagai manca negara.
Ilustrasi (Wikipedia) |
Hisyam
adalah potres kepala sekolah yang berani besikap demokratis, oleh karena itu
sepak terjangnya yang positif untuk menggairahkan guru kesenian patut ditiru. Sungguhpun
lebih dari 100 guru kesenian se Jawa Timur yang diundang pada seminar tersebut
benar-benar masih merasa sangat amat menderita menjadi guru kesenian, hal ini
ditegaskan oleh pembicara kedua; Suyanto, S.Pd. Seringkali guru kesenian
menjadi musuh teman guru yang lain, pasalnya pelajaran kesenian dianggap
pelajaran yang bising, kotor, dan memakan tempat dan waktu proses yang cukup.
Diteaskan, secara ideal pelajaran kesenian yang dapat membuat siswa trampil
diburuhkan studio, yang secara arsitektural memang memenuhi standar artistik.
Hal ini yang sangat dikeluhkan oleh banyak guru kesenian, mereka merasa tidak
memiliki tempat dan alat yang memadai. Hal ini benar-benar mengetuk hati
panitia, dan penitia baru menyadari bahwa kondisi para guru kesenian demikian
menyedihkan. Bahkan secara introspektif, dibenarkan. Mungkin kondisi yang
dialami oleh banyak guru kesenian tersebut yang secara signivikan menjadikan
kesenian sebagai ekspresi anak bangsa. Pada umumnya siswa lebih suka
mencarahkan waktunya untuk nge-game. Hal
ini yang berusa penulis tekankan, bahwa pelajaran kesenian adalah sebuah proses
simultan untuk menumbuh kembangkan kepribadian siswa yang mempu
diimplementasikan dengan dinamika perbumbuhan pola sosial masyarakat dan
perubahan lingkungan. Oleh karena itu pleksibelitas sebagai guru kesenian
diharapkan mampu mengimplementasikan materi yang inovatif dan prospektif
melalui model-model pembelajaran yang strategis. Hal ini tampaknya telah
dilakukan oleh dua narasumber; Hisyam, M.Pd. dan Suyanto, S.Pd.
Sepak
terjang Hisyam, M.Pd. yang berlatarbelakang pendidikan ekonomi dan magister
teknologi pendidikan merasa bahwa dirinya benar-benar merasa bahwa latar
belakang pendidikan seni bukan satu-satunya bekal menjadi pendidik kesenian,
tetapi kepedulian dan semangat yang membara dan menyadari benar bahwa kesenian
harus ditumbuhkan demi membentuk manusia yang dinamis, sensitif, dan produktif.
Unntuk itu kesenian adalah sebuah materi lokal yang mampu dikembangkan dalam
pergaulan global. Kebangan bangsa
Kondisi
yang dialami oleh dua narasumber tersebut di atas, ternyata tidak dapat
memberikan siraman yang meringankan bagi beban para guru kesenian yang hadir,
tetapi mereka tetap meraskan adanya beban yang berat, antarlain adalah: beban
sebagai guru yang diharapkan mampu mengajar lebih dari satu disiplin; misalnya
guru seni rupa yang diharapkan dapa mengajar seni musik, atau tari. Demikian
untuk penguasaan guru seni yang lain.
Disamping itu adalah kebijakan kepala sekolah yang selalu mengedepankan siswa
yang memiliki kemampuan eksata tinggi, dan merendah siswa yang memiliki potensi
kreatif. Pasilitas dan alat kesenian yang jauh dari memadai selalu tidak
mendapatkan perhatian. Tetapi guru kesenian selalu dituntut untuk mempu
menampilkan siswa-siswinya dalam berbagai kegiatan perhelatan seremonial
kenegaraan, dan lomba-lomba dari tingkat kecamatan hingga nasional. Beban yang dirasakan adalah tuntuan untuk menang.
Mentalitas kompetitip dominatif ini yang membuat para guru tidak nyaman, hal
ini penulis sebagai salah satu pembicara menegaskan. Bahwa para guru diharapkan
kembali pada tujuan mengajar seni, setidaknya ada tujuh fungsi dalam pendidkan
seni, yaitu: 1) guru diharapkan mampu mengenalkan prinsif dasar seni, 2)
mengenalkan teknik seni, 2) seni diharapkan sebagai media pembentuk sikap etika
dan moralitas, 4) mengenalkan prinsif ilmu pengetahuan dan alam melalui seni,
5) seni sebagai alat komukinasi estetik, 6) seni sebagai media menumbuhkan
kepribdian dan identitas diri, 7) seni memiliki kemampuan mengenalikan
(trasformasi) nilai-nilai budaya. Hal tersebut yang diharapkan guru tidak
mengalami sindrum tekanan sosial. Penulis yakin bahwa usaha pemerintah akan
mengupayakan perbaikan dan langkah-langkah konstruktif. Hal tersebut sudah
dibuktikan pada penyelenggaraan seminar tersebut. Oleh sebab itu Sinarto
sebagai ketua penitia menegaskan, bahwa orentasi awal ini menjadi satu titik
toleh yang penting. Oleh karena, sebab kondisi guru kesenian yang demikian
dibutuhkan sebuah langkah konstruktif yang tidak hanya dipecahkan oleh
pemerintah, tetapi campur tangan para seniman produktif sangat mungkin. Di
samping para kepala sekolah diharapkan mempu memberikan motivasi dan semangat
yang tinggi untuk menumbuhkan kesenian, hal ini perlu disadari benar, bahwa
trasformasi kesenian etnik hanya mungkin dilakukan jika melewati lembaga
pendidikan. Mengingat regenerasi kesenian etnik banyak terjerumus pada ranas
komersial. Sehingga kesenian menjadi sebagai fungsi hiburan semata.
Editor : Harda Gumelar
Posting Komentar untuk "GURU KESENIAN DI JAWA TIMUR MENAMPUNG KELUH KESAH"