Damariotimes.
Dalam Wayang Topeng di Malang Jawa Timur. Lakon yang ditampilkan adalah lakon
Panji. Dalam lakon tersebut di ceritakan kisah percintaan antara Panji Asmarabangun dan
Dewi Candrakirana (Sekartaji).
Lakon yang ditampilan bersifat simbolik, yaitu
menampilkan eksistensi keberadaan unsur laki-laki dan wanita. Para narasumber
yang menhayati pengetahuan kejawen mengartikan dengan istlah sajodo.
Topeng Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana (Sekartaji) (Foto Ist.) |
Hubungan perjodohan memang dibutuhkan lambang untuk
memberikan pamor yang spektakuler, yaitu dengan membangun simbilisme dalam
tokoh Panji Asmarabangun dan Galuh Candrakirana, yaitu ditunjukan sebagai
sebuah siklus pergantian siang dan malam, yaitu Panji sebagai Matahari dan
Candrakirana sebagai Bulan Purnama. Perwujudan simbolis yang umum dijumpai pada benda
pemujaan masa Jawa Timur adalah lambang kesuburan, dalam wujud lingga-yoni, atau lumpang-alu, cowek-muntu (ulek-ulek).
Bulan Purnama merupakan saat yang sangat
magis dan sekaligus religius, karena dalam kondisi itu bumi mengalami perubahan
yang akan dialami manusia dan binatang, yaitu salah satunya adalah naiknya
lebido, sehingga menjadi masa kawin dari berberapa satwa, termasuk kucing.
Sebagai contoh, penjelasan yang seringkali
diungkapkan Karimoen, salah satu tokoh wayang topeng dari Desa Kedungmonggo
Pakisaji Kabupaten Malang. Kedudukan dari Dewi Galuh Candrakirana (Sekartaji)
dan Panji Asmarabangun ditemukan menjadi sajodo yang disebut Garwa,
yaitu akronim dari Sigarane
nyawa. Hal
ini memberikan pemahaman bahwa, laki-laki dan perempuan itu hakekatnnya adalah
satu. Maka ini yang dimaksud dengan pemahaman religiusitas kejawen yang disebut
Loro-loroninge a-Tunggal (dua menjadi satu).
Pemahaman tersebut ada dalam konsep kekuasaan Jawa yang
disebut dengan istilah Dewa Raja, yaitu pengertian Raja sebagai legitimasi dan
sekaligus maniverstasi dari kekuasaan
raja-raja Jawa.
Menyimak hal tersebut, Panji Asmarabangun yang dikemudian
hari akan mendapatkan legitimasi untuk menggantikan ayahandanya, Panji Lembu
Amilihur yang dipersepsi sebagai: Samiaji atau Darmakesuma raja dari kerajaan
Amarta.
Oleh karena Panji membutuhkan pengalaman,
yaitu selalu ditakdirkan untuk berkelana menjadi rakyat jelata. Dalam
pengembaraannya selain sebagai laku satria, Panji Asmarabangun juga mencari istrinya yang hilang/menghilang dari
istana.
Perjalanan ini memiliki aspek sosio politis, yaitu
seorang raja Jawa tidak lagi dipersepsi sebagai manivestasi dewa, tetapi merupakan
maniverstasi dari rakyat, atau harus mendalami dan memahami hakekat rakyat.
Sehingga Panji diperjalankan untuk dapat mendengar dan melihat kondisi
rakyatnya.
Pada M. Soleh Adi Pramono, salah satu dalang wayang topeng di Malang mengartikan lelana ing laladhan
sepi.
Jika disimak bentuk pemikiran politik
raja-raja Jawa mulai bergeser dari sikap raja-raja Jawa bermanivestasi sebagai Dewa. Kemudian
lakon Panji memahamkan tentang realitas politik pada zamainya. Sastra panji
lebih terkenal sebagai sastra rakyat ketimbang sastra istana. Karena pola
cerita yang dibangun lebih berorentasi pada rakyat, dan bersifat realistik
terhadap kehidupan manusia. Dewa tidak banyak dihadirkan membantu problematika
kehidupan dari para satria Jawa.
Editor : Harda Gumelar
Posting Komentar untuk "Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana"