Damariotimes.Topeng
Dhalang Madura di masa silam sempat pula menyebar ke berbagai daerah di luar
Sumenep, namun agarknya sebagaian besar terbatas di kalangan para bangsawan
yang menyebar di seluruh pulau Madura, dan kemudian membentuk semacam dinasti-dinasti penguasa (raja) di Pamekasan,
Sampang, dan Bangkalan. Hubungan kekerabatan, politik, dan sosial budaya yang
terjalin antara kerajaan Jawa dan kerajaan Madura di masa-masa berikutnya,
sedikit banyak membawa pengaruh pula terhadap perkembangan Topeng Dhalang
Madura. Tampak nyata sekali penaruh itu
pada busana, terutama pada irah-irahan kepala yang sudah mengambil alih pola
irah-irahan wayang wong dari Jawa Tengah
(Sala). Juga mengenai lakon yang banyak sekali mengambil dari pakem-pakem
pedhalangan Jawa. Hanya satu hal yang unik, yang tidak ada samanya dengan isi
pakem pedhalangan di Jawa, yaitu, bahwa
tokoh Baladewa sangat dipuja dan diagungkan seperti dewa layaknya,
sehingga apa pun tindakannya harus benar atau harus dibenarkan. Tokoh ini pun
tidak pernah dikalahkan dalam peperangan manapun. Ini adalah semacam fanatisme
kebanggan kesukuan, sebab tokoh Baladewa adalah raja dari kerajaan Mandura
(menurut istilah pedhalangan Jawa), atau Madhura (menurut ejaan aslinya dari
Pada abad XX, setelah kerajaan-kerajaan mulai hilang
dari bumi Madura, Topeng Dalang kembali menjadi seni pertunjukan rakyat dan
mencapai puncak kesuburannya sampai tahun 1960-an. hal itu dapat dilihat dari
banyaknya group seni pertunjukan. Pertumbuhan seniman, baik penari ataupun dalang,
dan juga pengrajin topeng muncul di berbagai pelosok
desa. Wayang Topeng Madura (Sumber: Seputarmadura.com)
Memasuki dekade 1960-an, topeng dalang mengalami masa
surut. Hal ini disebabkan oleh kondisi politik di Indonesia mengalami tragedi,
sehingga banyaknya tokoh-tokoh topeng yang meninggal menjadi korban. Sementara
regenerasi yang menguasai seni Topeng Dalang belum muncul.
Pada tahun 1970-an Topeng Dalang kembali bangkit dan
itu tidak terlepas dari jasa dalang tua yang bernama Sabidin (dari Sumenep).
Dalang tersebut mulai mengadakan revitalisasi Topeng Dalang, dan sekaligus menngadakan peremajaan kader-kader
muda yang berasal dari beberapa daerah di wilayah Sumenep. Regenerasi diprioritaskan pada penguasaan materi
pedalangan, dan juga penari-penari
topeng. Kerja keras dalang Sabidin membuahkan hasil, murid-muridnya hasil
menguasai dan melestarikan kembali seni Topeng Dalang Madura.
Pada abad ke-18 topeng dalang yang semula merupakan
teater rakyat, kemudian diangkat menjadi kesenian istana. Di dalam lingkungan
istana, ragam hias topeng yang sederhana dimodifikasi kembali. Bentuk dan
kehalusan ukirannya diperindah, begitu pula dengan seni karawitannya, seni
pedalangan sekaligus pemanggungan/pementasan. Sehingga pada masa itu, merupakan
masa berkembangnya sastra Madura. Apalagi hubungan antara raja Madura dengan
kerajaan Mataram semakin erat, sehingga pengaruh Mataram tak dapat dielakkan
lagi.
Perkawinan antara seorang keluarga kerajaan Mataram
dengan keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono VII (1830-1850) dengan salah satu
putri raja Madura (Bangkalan), semakin mengokohkan jalinan kekeluargaan. Karena
mertuanya senang dengan topeng dalang, Paku Buwono VII memberikan hadiah
seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Kehadiran topeng
hadiah dari Solo ini sedikit banyak berpengaruh pada seni topeng Madura,
terutama kehalusan ukiran-ukirannya.
Fenomena trasformasi budaya ini yang membuat penulis
memutuskan tidak memasukan topeng Jawa Tengah (khususnya Topeng Surakarta)
sebagai bagian yang dikomparatifkan. Selain dari pada itu, topeng Surakarta
dianggap sebagai topeng yang mengalami proses pengklasikan, sehingga menjadi bagian
dari tradisi besar. Sementara yang sedang di kaji adalah budaya yang
dikembangkan dalam tradisi kecil, yaitu tradisi masyarakat yang pada umumnya
memiliki latar belakang yang sama yaitu budaya agraris.
Editor : Harda Gumelar
Posting Komentar untuk "Topeng Madura dan Mitos Tokoh Baladewa (Bagian 3)"