Pementasan wayan topeng di Pujiombo (Foto Ist.) |
C. Persebaran dan Dinamika Topeng Dalang Malang
1. Topeng Dalang Keraton dan Luar Keraton
DAMARIOTIMES - Wilayah persebaran budaya Jawa pada Era
Kemonarikhian dapat dikategorikan dalam dua lingkungan, yaitu kebudayaan: (1)
keraton, dan (2) luar keraton. Sendra-tari topeng masa lalu di Malang
berkembang baik di lingkungan keraton maupun di luar keraton. Cukup alasan
untuk menyatakan adanya sendra-tari berproperti topeng di lingkungan keraton,
karena dalam kurunwaktu delapan abad pada masa Hindu-Buddha tempat-tempat
tertentu di daerah Malang beberapakali dijadikan pusat pemerintahan (kadatwan)
kerajaan, baik kerajaan yang bersatus indipenden ataupun kerajaan bawahan
(vassal).
Berturut-turut, pada abad VIII hadir kadatwan
Kanjuruhan di lembah Kali Metro, dan kemudian ‘turun status’ menjadi
karakryanan dengan pusat pemerintahan digesar sedikit ke arah utara di lembah
Brantas. Dua abad kemudian hadir kadatwan pertama kerajaan Mataram masa
Isanavamsa, tepatnya paro pertama pemerintahan Pu Sindok atau Sri Isana (929
hingga 940-an M.). Dalam kurun waktu 70 tahun (1222 s.d. 1292 M.) hadir lagi
kadatwan Tumapel di Kutaraja dan kemudian direlokasi ke Singhasari. Pada jaman
Majapahit (XIV s.d. XV M.), kendati Malang tidak lagi menjadi lokasi
pemerintahan pusat, namun setidaknya terdapat dua pusat pemerintahan vassal di
sini, yakni pusat vassal kerajaan Majapahit di Tumapel dan di Kabalan. Pada akhir
masa Hindu-Buddha, tepatnya pada paro pertama abad XVI M, di daerah Malang
Selatan hadir kadatwan suatu kerajaan merdeka bernama ‘Sengguruh’ atau ‘Tanjung
Sengguruh’. Di masing-masing lingkungan dalam (watek i jro) pada pusat
pemerintahan itu, keculai mungkin di Era Kerajaan Kanjuruhan, besar kemungkinan
terdapat seni pertunjukan berproperti topeng yang melakonkan cerita Panji atau
cerita-cerita lain yang menginduk pada wiracarita India.
Sejauh ini kita belum menemukan sumber data
artfektual maupun visual yang secara jelas menyatakan adanya seni tari atau
sendra-tari berproperti topeng. Kendati demikian, jika kita melakukan studi
komparasi sinkronis, bukan tidak mungkin bentuk kesenian itu hadir di
lingkungan keraton Sunghasari maupun Majapahit. Data artefaktual yang bisa
dijadikan pem-banding untuk itu adalah arca Bhairawa pada Pura Kbo Edan dan
arca Catuhkaya yang juga berkenaan dengan Bhairawapuja di Pejeng. Daerah Pejeng
yang berada di kawasan Badahulu (kini menjadi ‘Bedahulu’) konon adalah sentra
budaya dan sekaligus kadatwan pada akhir dinasti Warmadewa. Patung Bhairawa
yang sangat besar di Pura Kbo Edan – sebagai arca perwujudan raja terakhir
Warmadewawamsa bernama ‘Astasuraratnabhumibanten’ – dengan jelas meragakan
adegan tari dengan properti tari berupa topeng. Batas tempel topeng di wajah
penari dan adanya tali ikat di batok kepala bagian belakang tak bisa memungkiri
bahwa tarian sakral dalam Bhairawapuja ini mengenakan topeng sebagai properti
tari. Hal serupa berlaku pula untuk arca Chatuhkaya.
Masa hidup dari Astasuraratnabhumibanten sejaman
dengan Adityawarman. Menurut kakawin Nagarakretagama, Gajahmada dan
Adityawarman adalah panglima Majapahit da-lam ekspansi penaklukkan Badahulu.
Sebagaimana halnya raja
Astasuraratnabhumibanten di Bali, ksatria Majaphit bernama
‘Adityawarmman’ itu adalah pula penganut Bhairawapuja, terbukti arca
perwujudannya berupa
dalam ukuran
amat besar. Dapat dibayangkan bahwa kala itu di kadatwan Majapahit juga
terdapat tari sakral dalam konteks Bhairawapuja. Hal serupa bukan tidak mungkin
ada di kadatwan Singhasari, mengingat bahwa raja terakhir-nya, yakni
Kretanegara, berdasarkan informasi Pararaton maupun arca perwujudannya yang
berbentuk Bhairawa, adalah seorang pelaku taat Bhairawapuja.
Jejak awal keberadaan seni pertunjukan berproperti
topeng kategori luar keraton anta-ra lain tergambar dalam prasasti Himad dan
Dinoyo A yang berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok. Seni pertunjukan
berproperti topeng yang dipentaskan sebagai penyemarak upa-cara penetapan desa
sima tersebut bisa jadi merupakan kesenian luar keraton. Demikian pula
penggubahan varian cerita Panji di batur Pajaran seperti tersurat dalam
prasasti Pabanyolan adalah aktifitas kesusateraan Panji yang dilakukan di luar
keraton (dharma lpas). Bila benar demikian, kala itu di lembah sisi selatan
Tengger pada wilayah Malang Timur telah terdapat komunitas sendra-tari topeng
berlakon Panji yang masuk dalam kategori kesenian topeng luar keraton –
kadatwan Majapahit berada jauh di middle Brantas, yaitu di Trowulan sekarang.
Kendati merupakan dua lingkungan seni yang
berlainan, namun kesenian luar keraton tak terpisah hubungan sama sekali dengan
pemerintahan kerajaan. Pihak keraton memainkan peran sebagai maecenas bagi
kesenian, baik kesenian keraton maupun luar keraton. Terlebih bila sang
pengusanya memiliki kepedulian terhadap kesenian. Seorang penguasa pada vassal
Majapahit di nagari Kabalan bernama ‘Kusumawarddhani’ atau disebut juga ‘Bhre
Kabalan’ oleh prasasti Waringin Pitu (1447 M) digambarkan sebagai piawi dalam
memainkan tari dan pelantun kidung yang bersuara merdu (Cahyono, 1996:54).
Sebagai seorang seniwati, cukup alasan bagi interpretasi bahwa ratu yang cantik
ini menaruh perhatian untuk memajukan kese-nian di nagarinya, tidak terkecuali
sendra-tari topeng berlakon Panji.
Perhatian Kusumawarddhani terhadap seni-budaya
seakan menjejaki kebijakan ayah-nya, yakni maharaja Hayam Wuruk. Sebagai
seorang pelaku seni, yang menurut Pararaton (VIII) piawi dalam memainkan tari
topeng (anapuk) dan menurut Nagarakretagama (XC1.5) trampil dalam pertunjukan
raket (Pigeaud, 1938: 125-126, 350; Cahyono, 2009:107), Hayam Wuruk sangat
menaruh perhatian terhadap kesenian. Hal ini tampak pada penyelenggaraan pekan
seni di lapangan Bubad setiap bulan Caitra (antara Maret-April), selepas masa
panen. Pada kesempatan ini seniman dalam keraton dan seniman luar keraton
bertemu dalam sebuah festival kesenian yang disemarakkan oleh keduanya. Hal itu
adalah contoh padamana pihak keraton memberi kontribusi untuk pengembangan
seni-budaya. Walau demikian, bukan ber-arti eksistensi atau hidup-mati kesenian
sepenuhnya bergantung pada uluran tangan keraton. Kontribusinya bagi kesenian
keraton terbilang signifikan, namun tidak sedemikian kuat bagi kesenian luar
keraton. Terbukti, ketika budaya Hindu-Buddha mengalami dekadensi, bahkan
nyaris runtuh pada abad XVI, kesenian keraron turut merosot dan runtuh,
sedangkan kesenian luar keraton tetap eksis hingga memasuki Masa Pertumbuhan
dan Perkembangan Islam.
Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan faedah.'
Salam budaya, 'Nusantarajayati'.
Nuwun
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling 10 Janari 2017
Penulis : M. Dwi Cahyono
Posting Komentar untuk "Akar Historis Topeng Dalang Malang (Bagian 3)"