Pergelaran wayang kulit (Foto Ist.) |
B. Inspirasi Wayang Orang dan
Wayang Kulit
DAMARIOTIMES - Warga setempat acap menyebut
sendra-tari topeng Malang dengan ‘wayang topeng’ atau ‘topeng dalang’. Di balik
penyebutannya yang demikian tergambar adanya pengaruh dari bentuk seni
pertujukan lainnya, yaitu: (a) wayang orang (wayang wong) dan (b) wayang kulit.
Unsur sebutan ‘wayang’ dalam ‘wayang topeng’ membayangkan adanya pengaruh seni
per-tunjukan wayang, khususnya wayang orang (wayang wong). Pengaruhnya terhadap
wayang topeng bisa difahami, mengingat data prasasti menunjukkan bahwa wayang
orang telah hadir sejak abad IX Masehi. Berkenaan dengan itu, prasasti
Wimalasrama yang ditulis atas perintah Balitung menginformasikan pementasan
wayang wwang (wayang orang) berlakon ‘Bhima ya kumara’. Sayang sekali dalam
konteks ini tidak diperoleh kejelasan tentang ‘apakah terdapat tokoh peran
tertentu atau malah seluruh tokoh peran yang mengenakan properti topeng’.
Prinsip-prinsip pokok wayang orang, yaitu diperankan
oleh manusia dan adanya lakon (cerita) yang dipentaskan, berlaku pula dalam
wayang topeng Malang. Konon di masa Hindu-Buddha pemeran sendra-tari topeng
cenderung pria, sehingga tokoh peran wanita diperankan oleh laki-laki
(travesty). Hal ini tergambar dalam susastra Pararaton, yang menyatakan bila
Hayam Wuruk memerankan tokoh peran wanita, sebutannya adalah ‘pager antimun’.
Kecen-derungan demikian kini tidak atau jarang terjadi. Kalaupun terjadi,
aih-alih berlangsung pada teater ludruk. Sebagai drama-tari, wayang topeng
Malang mementaskan cerita/lakon tertentu, utamanya lakon Panji. Sementara di
daerah-daerah lainnya, lakon wiracarita asal India, yaitu Mahabarata dan
Ramayana, maupun lakon ‘Menak’ asal Timur Tengah juga menjadi materi cerita
dalam sendra-tari topeng.
Unsur sebutan ‘dalang’ dalam ‘topeng dalang’
membayangkan hadirnya penutur cerita (dalang) pada pementasan wayang topeng di
wilayah Malang. Dalang bukan hanya sebagai penghantar kisah, namun juga
menyuarakan dialog dari masing-masing tokoh peran. Sebagai-mana halnya dalam
wayang kulit, hampir semua tokoh peran tak berbicara. Pembicaraannya dituturkan
oleh dalang. Oleh karena topeng menutupi seluruh muka pemain, maka menjadi
kurang jelas apabila dialog disuarakan olehnya. Indikasi adanya pengaruh wayang
kulit juga tampak pada posisi berdiri dari tokoh peran, yang cenderung tidak
menghadap lurus ke depan (enface), melainkan enprofile yaitu sedikit serong
(sekitar ¾ ke depan). Posisi berdiri tokoh peran yang demikian juga dijumpai
dalam relief di beberapa buah candi pada masa Majapahit di Jawa Timur,
khususnya relief yang mempunyai gaya pahat ‘wayang style’, seperti terdapat di
Candi Jago, Penataran, Tigawangi, Surowono, Sukuh, dsb. Selain
itu busana dan aksesori yang dikenakan oleh para tokoh peran dalam
wayang topeng Malang juga menyerupai tokoh-tokoh peran dalam wayang kulit.
Bahkan bila dirunut lebih jauh ke belakang, dalam sejumlah hal menyerupai
busana dan aksesori pada ikonografi (seni arca) masa Hindu-Buddha.
Pengaruh atau inspirasi dari wayang kulit terhadap
wayang topeng dapat dimengerti, mengingat bahwa seperti halnya wayang wwang,
kahadiran wayang kulit dalam budaya Jawa lebih awal ketimbang wayang topeng.
Sumber data tekstual, tepatnya kakawin Arjunawiwaha yang disurat pada masa
pemerintahan Airlangga (1019-1049 M), dengan jelas menyebut ada-nya pementasan
wayang kulit. Sementara wayang topeng baru marak dipentaskan pada masa
Majapahit (abad XIII-XVI M) dan sesudahnya. Wayang topeng atau topeng dalang
dengan demikian bukanlah karya seni yang hadir dalam suasana baru sama sekali,
namun merupakan ‘buah kombinasi kreatif (mixing)’ dari wayang orang dan wayang
kulit, yang secara khusus menjadikan topeng sebagai properti utama dalam
pementasan seninya.
Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan faedah.'
Salam budaya, 'Nusantarajayati'.
Nuwun
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling 10 Janari 2017
Penulis : M. Dwi Cahyono
Posting Komentar untuk "Akar Historis Topeng Dalang Malang (Bagian 2)"