Wayang Topeng Wonokerso Tengger (Foto Ist.) |
D. Peta Persoalan dan Solusi
DAMARIOTIMES - Kendati topeng dalang atau wayang
topeng Malang mempunyai akar sejarah panjang, kenyataan terkahir menunjukkan
bahwa dari tahun ke tahun jumlah sanggar wayang topeng kian berkurang. Pada dua
dasa warsa terakhir sanggar wayang topeng tinggal berada di lereng hingga
lembah sisi selatan G. Tengger dan Kawi. Kalaupun masih ada sejumlah sanggar yang
tersisa, tak seluruhnya memiliki tingkat “kesehatan” yang sama. Hanya beberapa
daripadanya yang pelaku seni dan propertinya lengkap. Pimpinan sanggar senior
dan pemain gaek satu per satu meninggal, tanpa diiringi dengan regenerasi yang
seimbang, apalagi semakin meningkat. Bilapun proses regenerasi terjadi di
sejumlah sanggar, namun kini baru memasuki tahap awal, dengan khalayak sasaran
anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, kebanyakan pelaku seni to-peng dalang
adalah pemula atau seniman yunior, yang baru berada di posisi mambang seni
(seniman siswa). Khalayak penanggapnya pun mengalami penciutan, demikian juga
frekuensi pementasannya menurun drastis bila dibanding dengan masa sebelumnya.
Kesempatan untuk berpentas di tiap sanggar tidak sama. Ada sanggar tertentu
yang memiliki frekuensi pemen-tasan cukup tinggi, namun tidak sedikit yang
hanya sesekali berpentas. Persoalan lain adalah terbatasnya jumlah perajin
topeng kayu. Padahal pengerjaan topeng kayu membutuhkan wak-tu cukup lama
lantaran dikerjakan secara manual.
Langkah terseok-seok dari sanggar-sanggar topeng
dalang Malangan sekan berjalan sendiri. Tetatih-tatih dengan hanya mengandalkan
kekuatannya sendiri yang semakin renta. Peran kerajaan sebagai fasilitator
(maecenas) kesenian seperti pada Era Kemonakhian dahulu tidak hadir sama
kuatnya di Era Repulik. Peran tiga pemerintahan di Malang Raya (Kota dan Kab.
Malang dan Kota Batu) sebagai konservator dan preservator hanya setengah hati.
Acara-acara di tingkat SKPD yang disertai dengan hiburan hanya sedikit yang
berkenan menanggap topeng Malang. Bahkan, pada perhelatan besar sekalipun,
semisal Perayaan Hari Jadi Daerah, alih-alih cenderung menanggap wayang kulit
kaliber nasional dengan biaya jauh lebih tinggi daripada biaya pementasan
wayang topeng. Festival seni tahunan tiap bulan Caitra sebagima-na dicontohkan
oleh maharaja Majapahit (Hayam Wuruk) dan kebijakan pemerintah yang pro kepada
seni-budaya seperti diteladankan oleh Kusumawarddhani di nagari Kabalan, kini
tak dijejaki oleh penguasa di Malang Raya masa ki.
Minimal perlu ada salah satu Pemerintah Daerah di
Malang Raya yang memprakarsai dan lalu mewujudkan impian “Museum Topeng Dalang
Malangan”. Dengan adanya museum itu, kalaupun nantinya terjadi kemungkinan
terburuk, yakni topeng Malang berstatus “almar-hum”, setidaknya jejaknya masih
disimpan di museum. Pembuatan museum adalah salah satu bentuk upaya
dokumentatif. Mustinya ada bentuk upaya dokumentasi lain, seperti pembuatan
foto dan film dokumenter, yang dibuat dengan rinci, akurat serta berkemampuan
eksplanatif. Riset eksploratif guna mengidentifikasikan karakter topeng Malang
maupun studi kasus guna mempetakan pemasalahannya adalah upaya penting lainnya.
Karakter yang teridentifikasi itu dapat memberi gambaran tentang kekhasan atau
unikum topeng dalang Malang.
Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan faedah.'
Salam budaya, 'Nusantarajayati'.
Nuwun
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling 10 Janari 2017
Penulis : M. Dwi Cahyono
Posting Komentar untuk "Akar Historis Topeng Dalang Malang (Bagian 5)"