Wayang Topeng Malang yang ada di Kabupaten Malang (Foto ist.) |
A. Data Epigrafis Seni Pertunjukan Berpropeti Topeng di Malang
DAMARIOTIMES - Jejak topeng Malang masa lampau
terekam dalam beragam sumber data. Untuk Masa Hindu-Buddha, jejaknya antara
lain didapati dalam sumber data epigrafis. Sejauh kita ketahui sumber data
tertua yang memberitakan adalah dua prasasti dari masa pemerintahan Pu Sindok
(Sri Isana), yaitu prasasti Himad (930 M.) dan prasasti Dinoyo A (8..... Saka).
Prasasti Himad memuat kata “matapukan (memainkan tari topeng)” (Cahyono, 2003,
lampiran III). Konteks pembicaraannya adalah sajian seni sebagai penyemarak
ritus penetapan wanua (desa) Himad menjadi sima (perdikan). Hal serupa dijumpai
dalam prasasti Dinoyo A, yang menyebut per- kataan “juru ning mangrakat
(pimpinan pertunjukan raket, yakni sendra tari topeng) bernama Pataweh
(Cahyono, 2003, lampiran III). Dapat dipastikan bahwa pada paruh pertama abad X
tari topeng telah ada di Malang, dipentaskan sebagai performing art dalam
berbagai perhelat-an, tidak terkecuali dalam acara kenegaraan yang
formal-sakral, yakni penetapan sima. Kedua prasasti itu menyebut adanya seni
pertunjukan tertentu, dimana pelaku seninya mengenakan properti yang berbentuk
topeng (tapuk atau tapel).
Tidak diragukan bahwa istilah ‘matapukan’ dan
‘mangrakat’ dalam kedua prasasti di atas menunjuk pada pementasan seni
pertunjukan yang mengenakan properti topeng. Alasan pertama istilah-istilah itu
berada dalam satu konteks dengan penyebutan ragam seni pertujuk-an lainnya yang
juga dipentaskan sebagai penyemarak upacara penetapan sima. Kedua, pada masa
lalu hingga kini terdapat seni pertunjukan tari, sendra-tari ataupun seni drama
(teater), yang seluruh atau sebagian pelaku seninya mengenakan properti topeng.
Kendati demikian, kedua prasasti tersebut tidak eksplisit menyatakan bahwa seni
pertunjukan berproperti topeng itu merupakan seni tari atau sendra-tari. Jika
merupakan sendra-tari, tidak pula disebut menngenai lakon apa yang
didramatarikan. Yang terang, kala itu (abad X M.) cerita Panji masih belum
menjadi lakon dalam sendra-tari berproperti topeng di Malang, karena cerita
Panji baru ditulis dalam bentuk susastra prosa (gancaran) pada masa Majapahit
(abad XIV-XVI M.).
Petunjuk bahwa cerita Panji telah menjadi lakon
dalam tari murni ataupun sendra-tari berproperti topeng didapati dalam prasati
tembaga (tamraprasasti) Pabanyolan (Thn. -) yang ditemukan di Desa Gubugklakah
Ke. Pocokusomo Kab. Malang pada lereng selatan Gunung Tenggerdi. Meskipun tidak
mencantumkan angka tahun, namun prasasti ini menyebut nama ‘Wilatikta’, yang
kita ketahui sebagai nama kadatwan Majapahit, sehingga bisa diprakirakan
asalnya dari masa Majapahit. Tidak sebagaimana lazimnya pada prasati-prasasti
lain, prasasti Pabanyolan bukan disurat atas perintah raja atau penguasa di
bawahnya untuk mengabadikan maklumat raja (charter) perihal keputusan resmi
kerajaan, melainkan ditulis oleh anggota ko-munitas keagamaan di sang hyang
batur Panjaran (PKMN, 1985:110-111). Kata ‘batur’ yang ditempatkan sebelum nama
‘Pajaran’ menjadi petunjuk bahwa di Pajaran terdapat pertapaan, sebab secara
harafiah istilah ‘batur’ berarti pimpinan sebuah pertapaan (Zoetmulder, 1995,
I: 115). Hingga kini toponimi ‘Pajaran’ masih digunakan sebagai nama desa di
Kec. Tumpang, yang bertetangga dekat dengan Kec. Poncokusumo.
Sesuai dengan penyebutannya, yaitu prasasti
‘Pabanyolan’, pertulisan pendek (short inscription) ini berisi sinopsis cerita
Panji yang komis (lucu = banyol). Pilihannya pada cerita Panji menjadi petunjuk
bahwa kala itu cerita Panji telah menjadi sastra favorit. Bukan saja di
lingkungan keraton, namun hingga juah ke lingkungan luar keraton di tempat yang
terpencil. Sebagai suatu tempat pembelajaran (mandala kadewagurwan), anggota
komunitas keagama-an di batur Pajaran meminati dan bahkan menjadi kreator
(penggubah) lakon Panji. Memang, salah satu materi ajar di suatu mandala kadewagurwan
adalah pembelajaran bidang susastra, tidak terkecuali tentunya susastra yang
mengkisahkan dramatika tokoh Panji dan kerabatnya.
Seni pertunjukan berproperti topeng tidak seluruhnya
melakonkan cerita Panji, namun melakonkan juga cerita-cerita lain yang berasal
dari wiracarita Mahabarata dan Ramayana. Selain itu, menurut penuturan maestro
topeng Malang almarhum Mbah Karimun dari sanggar wayang topeng di Kedungmonggo,
pada pra Masa Pendudukan Jepang (1942-1942) wayang topeng berlakon Menak acap
pula dipentaskan di Malang. Salah satu spesifikasi dari wayang topeng Malang
adalah konsistensinya dalam melakonkan varian-varian cerita Panji. Bisa jadi
konsistensinya yang demikian tidak belangsung secara tiba-tiba, namun memiliki
akar tradisi yang panjang. Prasasti Pabanyolan menjadi petunjuk bahwa cerita
Panji telah familer serta populer di kalangan warga Malang semenjak masa
Majapahit, yang diekspresikan ke dalam berbagai cabang seni, tidak terkecuali
ke dalam seni pertujukan berproperti topeng yang telah hadir di daerah ini
paling tidak pada abad X M.
Secara umum – dalam lingkup budaya Jawa masa lampau
– didapati informasi dari sumber data susastra tentang adanya sendra-tari
berlakon Panji pada masa Majapahit, antara pada kakawin Nagarakretgama (XCI,4)
dan Wangbang Wideya (I.59a-68b) (Cahyono, 2010: 6-7). Nagarakretagama (XCI.4)
tidak menyebut judul lakonnya. Kendatipun demikian, dapat diprakirakan bahwa
lakon yang dipentaskan adalah cerita Panji. Hal ini diindikatori oleh
tam-pilnya tokoh Shori (ksatria) dan tekes (putri). Demikian pula kitab
Wangbang Wideya (I.59a-69b) juga tak menyebut judul lakonnya. Hanya disebut
beberapa tokoh peran seperti Kulante, dang Guru dan pelawak, yakni para tokoh
peran pada cerita Panji tertentu. Pementasan lakon Panji dalam pertujukan raket
kiranya baru dimulai pada masa Majapahit. Sebelumnya, lakon Panji lazim
dimainkan dalam seni pertinjukan gambuh (Cahyono, 2010:20).
Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan faedah.'
Salam budaya, 'Nusantarajayati'.
Nuwun
PATEMBAYAN CITRALEKHA,
Sengkaling 10 Janari 2017
Penulis : M. Dwi Cahyono
Posting Komentar untuk "Akar Historis Topeng Dalang Malang (Bagian 1)"