Memasuki Jagat Metaverse

DAMARIOTIMES - Ketika era media sosial mengambil alih media garda utama, maka yang muncul adalah fase-fase disrupsi. Satu fenomena sosial menjadi tanda-tanda yang setiap individu memiliki kekebasan untuk memaknainya. Era disrupsi adalah satu masa dimana struktur  sosial tidak lagi memiliki ikatan yang kuat. Struktur sosial yang pada era sebelumnya diikat oleh norma, etika atau hukum-hukum sosial, tiba-tiba kehilangan otoritasnya. Masyarakat menjadi figur yang asing terhadap dunia sosial mereka.  Pada fase berikutnya masyarakat hidup dalam citra-citra yang dikehedakinya, sehingga setiap individu bebas memfomulasikan dirinya dalam sistem sosial yang dibangunnya sendiri.

Jagat metaverse yang diakses memalui perangkat virtual reality. Foto: Getty Images/spflaum1
Hukum-hukum sosial menjadi tidak bertaji dalam dunia metaverse atau dunia citraan, satu konsep dunai virtual yang diciptakan dalam novel karya Neal Stephenson pada era 1990-an.  Setiap individu memiliki keleluasaan untuk membangun karakter diri yang lepas dari akar sosialnya.  Pada titik ini tidak ada perbedaaan yang terasa pada masing-masing individu tersebut. Status sosial, usia, gender bahkan tingkat edukasi menjadi sesuatu yang tidak penting dalam dunia metaverse. Hal yang dapat kita jumpai pada media sosial, mulai pada faceboook, WA, Instagram hingga pada Tik Tok.

Pada media tersebut tidak ada sekat-sekat kultural, seorang anak usia  SD bisa dengan leluasa berpendapat dan bahkan eksis setara dengan seorang menteri. Seorang menteri atau presiden sekalipun bisa berpendapat dan bersikap layaknya anak-anak remaja yang haus perhatian. Konsep metaverse ini sesungguhnya sesuatu yang masih asing bagi masyarakat kita. Terdapat perbedaan struktur antara dunia nyata dengan dunia “metaverse” atau meta universe,  dalam dunia nyata hukum-hukum sosial bahkan hukum-hukum formal masih menjadi relugasi yang dipatuhi, tetapi dalam alam metaverse, sistem hukum tersebut kehilangan pamornya, karena semua serba semu dan tidak nyata.

Wilayah yang semu dan tidak nyata tersebut yang sering membuka peluang bagi beberapa pihak untuk mengambil keuntungan ekonomis, politik, bahkan ideologis, sehingga sangat wajar apapun yang dilontarkan dari pihak-pihak tertentu bisa dimanipulasi bahkan diberi makna-makna baru. Makna-makna dari satu fenomena tunggal bisa direproduksi, sehingga membentuk konteks dan konsekwensi ideologi yang baru. Kita sebagai pengguna media sosial sudah selayaknya memiliki kesadaran yang cukup dalam melihat fenomena tersebut. Hidup dalam dunia metaverse, harus siap menjadi individu-individu yang tanpa jiwa dan jati diri.  Satu ujud visual atau satu ucapan bisa diberi makna-makna yang lepas dari konteksnya, seperti yang pernah diutaran Roland Barthes, pada era 1970 an,  dunia  hari ini adalah dunia yang kehilangan para pengarang, sehingga setiap individu bebas membuat narasi-narasi baru, dan individu berikut juga memiliki kebebasan  yang sama untuk menciptakan narasi-narasi yang lain, demikian dan seterusnya. Ucapan seorang menteri bisa menjadi bola salju yang panas dalam dunia metaverse, hanya karena kita memiliki kesempatan yang sama untuk memberi konteks dan makna-makna. Pada dunia metaverse semua menjadi mungkin dan masuk akal, karena setiap individu dapat menjadi aktor yang  memiliki kuasa untuk mereproduksi makna-makna bahkan konteks-konteks baru.



Kontribotor     : Dr. Rudi Irawanto, M.Sn.
Editor              : R. Hidajat

Posting Komentar untuk "Memasuki Jagat Metaverse"