Hujan setiap hari, tak henti-hentinya mulai pagi hingga sore hari. Sudah setahun hujan tidak tercurahkan seperti tak tertahankan. Musim kemarau berkepanjanga. Berita tentang kekeringan tersebar di berbagai media.
Petani berkeluh kesah tak henti-hentinya. Pemerintah terus
diberitakan mencari solusi, namun tidak juga ada perubahan. Petani sangat
penderita, bahkan bahan pangan inport menjadi jalan pintas untuk mengatasi
kekeringan yang berkepanjangan. Dua bulan ini, kondisinya berbalik beda, hujan
seperti dicurahkan habis-habisan dari langit. Sumber piqsels
Kadir, petani Desa Jatiasih seperti
tidak terusik oleh kondisi alam yang diresahkan banyak orang. Dia hanya punya
tanah satu petak, luasanya 10 x 20 meter. Tanah ini agak miring, dekat sungai.
Orang desa mengenal sawah Kadir dengan sebutan lemah (tanah) miring.
Mungkin karena tanahnya yang tidak rata itu. Lahan mikil Kadir itu merupakan
batas desa. Di atas sawah Kadir adalah areal tanah hutan milik Perhutani. Ada
pagar kawat berduri yang mengelilingi, kondisinya sudah tidak bagus lagi,
karena sudah karatan dan lapuk termakan usia. Sehingga dari sawah Kadir orang
dengan mudah dapat memasuki areal hutan lindung itu. Tidak ada tanaman yang
berarti, namun penduduk seringkali melewati sawah Kadir untuk mencari kayu
bakar.
Kadir tidak merasa terusik, walaupun
penduduk yang lalu lalang setiap hari mencari kayu dan sesuatu yang dapat
diambil dari hutan lindung itu. Dia setiap pagi buta, Kadir sudah duduk di pondoknya,
menghadap secangkir kopi panas. Hanya itu sarapan kadir. Kopi yang menemani di
pagi hari itu terasa nikmat, dia tidak merokok. Secangkir kopi panas itu kadang
ditemani singkong rebus. Tapi seringkali, ya hanya kopi panas itu saja. Sambil
duduk memandangi tanaman di sekitarnya, Kadir juga sangat hafal orang yang lalu
lalang ke luar masuk hutan lingsung melawati sawahnya. Dulamin, pria tinggi
kuris yang setiap pagi sudah melintasi sawahnya, setiap hari pula Kadir selalu
menyapa dan menawarkan kopi panas, Tapi Dulamin, hanya tersenyum, dan
menjawab ‘suwun kang!!.’ Badannya
merunduk menghindari kawat duri batas hutan yang terentang. Jika sudah agak
siang, Yu Misti, pasti lewat. Dia membawa keranjang kecil yang digendong dengan
selendang merah. Kadir juga menyapa dengan santun; “Yu, hati-hati.” Yu Misti, menjawab “Suwun kang, ngopi hangat,
kang?” Aku menjawab, ‘Ya, Yu. Kopinya masih hangat.”
Kadir berdiri, melihat kanan dan
kiri. Waktu itu udara masih dingin sekali. Hujan semalam masih tersisa
gerimisnya. Pagi ini, Kadir juga sudah menyiapkan kopi untuk di minum. Perapian
kecil dekat gubuknya sudah menyala sejak petang tadi. Api kecil itu lumayan
untuk mengusir rasa dingin yang menjalar mulai dari kaki, tangannya. Kadir juga
terasa masih dingin, tangannya terasa tebal.
Pagi itu, masih belum kelihatan kang Dulamin lewat. Kadir
agak galau dan penasaran. Kang Dulamin belum juga lewat, apa ada seuatu. Aku
juga berpikir, mungkin ada keluarga jauh yang datang. Kang Dulamin punya
saudara banyak yang tersebar di berbagai desa. Bahkan anak-anaknya juga semua
berada di berbagai kampung dan ada juga yang di luar kota. Putrinya yang bungsu
ada di Kalimantan, dipersunting orang Dayak. Tidak pernah pulang sejak dinikahkan
dua tahun yang lalu.
Ketika pikiran Kadir melayang-layang. Tiba-tiba Yu Misti
lewat. Seperti biasa, dia membawa bakul kecil yang diikat dengan selendang
merah. Dia tidak menyapa. Tampaknya terburu-buru. Kadir juga semakin
terheran-heran. Hingga kopi panasnya tidak sempat di minum. Ketika mengangkat
gelas kopi itu, terasa sudah dingin. Rasa
keheran-herannya belum lenyap, tiba-tiba tampak kang Dulamin Lewat. Hati
Kadir terasa lega. Rasa ingin tahunya tidak tercegah, lalu bergegas bertanya.
“Kang,kang, kang Dul. Kenapa baru lewat?. Yu Yum sudah tadi lewat.” Kang
Dulamin tersenyum, dan hanya melambaikan tangan. Dia tampak teburu-buru
memasuki hutan lindung itu. Kadir jadi lebih penasaran, apa yang terjadi dengan
mereka.
Kopi panas yang dibuat Kadir pagi-pagi
itu benar-benar sudah dingin, namun tatap saja diminum. Hari ini rasanya sangat
berbeda, aku tidak merasakan kehangatan kopi. Udara dingin semakin menggigit.
Rasa kopi dingin juga semakin pahit. Pikian Kadir masih melayang pada Kang
Dulamin dan Yu Jum. Apa mereka ada sesuatu di dalam hutan sana. Bertahun-tahun
keduanya tidak pernah ada masalah. Kan Dulamin mencari kayu, dan Yu Jum mencari
jamur kayu. Mereka juga tidak pernah berangkat atau pulang bersama-sama.
Kadir memikirkan kedua orang itu
hingga matahari mengusir mendung yang menggelantung. Suasana mulai terasa
semakin terang. Sungguhpun udara di pinggir hutan lindung itu masih terasa
dinginnya. Dari arah tebing, tiba-tiba terlihat anak sulung Kang Dulamin. Dia
bersama suaminya yang orang dayak itu. Dari jauh mereka sudah memanggil, “Lek
Kadir, Lek Kadir….bapak apa belum turun dari hutan?. Aku semakin bingun, kapan
Lianah balik ke Jawa. Aku segera juga menjawab, “Belum!.” Aku semakin
penasaran, dan mengabarkan Lianah. “Kapan balik ke Jawa, mampir dulu.” Aku
berharap Lianah dan suaminya mau singgah di gubuk. Harapanku agar rasa
penasaran ini segera hilang. Pasti Lianah akan membawa jawaban tentang ayahnya.
Lianah dan Suaminya bergegas menghampiri gubuk, melewati pematang yang agak
licin. Dengan hati-hati, dia dipegangi oleh suaminya yang tinggi kekar, matanya
tajam, wajahnya keras dan tangannya kuat. Setelah mereka dekat, Lianah
mengenalkan suaminya, dia hanya tersenyum. Rupanya suaminya belum paham bahasa
Jawa. Aku bertanya, kenapa buru-buru mencari ayahnya. Dia menjawab. “Begini,
lek. Sebulan yang lalu, bapak telpon. Dia ingin menikah lagi.” Aku menyela keterangannya
dengan gembira, “La, baguslah, itu!”
biar ada yang membuatkan kopi panas di pagi hari.” Liana sambil memandangi
suaminya, menjawab. “Ya, itu yang disampaikan bapak. Dia ingin ada pendamping
yang dapat membuatkan kopi panas di pagi hari. Biar tidak seperti Lek Kadir,
setiap hari membuat kopi panas sendiri.”
Aku tertegun, dan bertanya dalam hati; apa urusannya dengan
kenikmatanku membuat kopi panas setiap pagi?.
Robby Hidajat
Posting Komentar untuk "KENIKMATAN SECANGKIR KOPI PANAS, PAGI HARI"