Wayang
Topeng Malang termasuk genre seni pertunjukan dramatari berlakon seperti wayang
wong (wayang orang). Wayang wong
secara etimologis berasal dari kata bahasa Jawa baru. Wayang berarti ‘boneka
dari kulit atau bayangan’, dan kata Wong
berarti orang atau manusia. Dalam lingkup tari Jawa kata Wayang selalu berubah
arti menjadi drama (play), yang
akhirnya dipahami sebagai dramatari yang dibawakan oleh manusia (Soedarsono,
1979).
|
Tampilan tari topeng sebagai ritual tradisional (Foto Ist.) |
Di Jawa Timur, seni pertunjukan dramatari bermula dari seni pertunjukan pada masa
kerajaan Majapahit yang disebut Wayang Wwang. Wayang Wwang berasal dari kata wayang dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi) berarti
‘bayangan’ atau ‘pertunjukan bayangan’, dan kata wwang berarti ‘manusia’. Jadi wayang
wwang adalah seni pertunjukan wayang yang semua aktor-artisnya berupa
boneka-boneka dari kulit lalu diganti dengan manusia. Berita tertulis
tentang penggunaan istilah wayang wwang baru dijumpai pada tahun
930 AD, pada prasasti Wimalasrama
dari Jawa Timur, wayang wwang
merupakan seni pertunjukan yang
menggunakan topeng sebagai wujud visual karakter tokoh-tokohnya (Soedarsono,
1997), yaitu tradisi seni pertunjukan tertua di Jawa, kemudian menyebar ke
berbagai daerah seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan juga Bali. Wayang
sebagai embrio dari genre seni
pertunjukan dramatari bertopeng. Besar
kemungkinannya ada kaitannya dengan
tradisi seni pertunjukan keistanaan pada masa kejayaan kerajaan Majapahit.
Seni
pertunjukan wayang topeng di Jawa Timur dikenal dengan istilah yang
berbeda-beda dari masa ke masa, seperti Matapukan
(hatapukan), Matapelan, Raket, Patapukan,
yang kesemuanya menunjukkan sebuah ciri yang khas sebagai seni pertunjukan dramatari bertopeng, atau
yang sekarang dikenal dengan istilah Tapel.
Tapel
atau topeng yaitu benda penutup wajah yang mewakili seluruh pribadi
seseorang. Maksudnya, topeng menggambarkan karakteristik dan sifat orang yang
digambarkan. Penggambaran ini tidak terbatas pada figur manusia, tetapi juga
makhluk gaib seperti dewa,
binatang-binatang mitologi (Sedyawati, 1993; Bandem, 1996; Dana, 2002). Seni
pertunjukan dramatari bertopeng di Bali, pada
awalnya dari seni pertunjukan yang disebut
gambuh. Gambuh merupakan
istilah yang baru dikenal dalam sebuah karya sastra yang disebut Kidung Wangbang Wideya dari abad XVI.
Dalam sastra kidung disebutkan bahwa gambuh adalah sebuah variasi dari
dramatari yang bernama Raket. Maka
sangatlah mungkin bahwa Raket yang
berasal dari Jawa Timur itu masuk ke Bali, tetapi nama yang dipergunakan di Bali sampai sekarang adalah gambuh. (Soedarsono, 2000; Bandem, 1996).
Sekitar
abad VIII– XV, wayang topeng merupakan seni pertunjukan istana, yaitu seiring
kejayaan kerajaan Majapahit yang diwarnai oleh budaya Hindu setelah karajaan
Majapahit runtuh pada tahun 1478 M (Lombard,
[1990], terj. Winarsih Partaningrat Arifin, 2000; Tim Lembaga Research
Kebudayaan Nasional/LRKN, 1984). Kemudian, pusat pemerintahan dipindahkan ke Demak Jawa Tengah oleh Raden Patah. Kerajaan Demak mulai
mengembangkan budaya yang bercorak islamistik. Bisa jadi suksesi kekuasaan ini
berpengaruh terhadap seni pertunjukan
wayang topeng di Jawa Timur, sehingga
kemudian dikenal peran serta Sunan
Kalijaga sebagai pencipta seni pertunjukan topeng (Sumarsam, 2003). Sungguhpun
demikian Pigeaud masih memandang hal tersebut dengan bijak karena masalah ini
bukan semata-mata permasalahan asal usul sebuah pertunjukan, tetapi merupakan
varian dari persebaran seni pertunjukan Jawa (Pigeaud, 1938).
Seni
pertunjukan wayang topeng awalnya sebagai repertoar kenegaraan yang tiba-tiba
muncul sebagai seni pertunjukan rakyat, seperti halnya gambuh di Bali. Gambuh diyakini bersumber dari Jawa
Timur, yaitu dari kebudayaan tradisi besar
di zaman Majapahit (Sumarsam, 2003). Hal ini dibuktikan dengan adanya
repertoar lakon khas Jawa Timur, yaitu cerita Panji (Dibia. 1999; R.M.
Soedarsono, 1997; Bandem, 1996; dan
Danandjaya, 1986).
Jika asumsi
ini benar, wayang topeng yang hidup di Malang
tidak diragukan bahwa seni pertunjukan tersebut erat kaitannya dengan Wayang Wwang. Hal ini didukung oleh
temuan di lapangan, yaitu ditunjukkan
bahwa lakon yang dipergunakan pada Wayang Topeng Malang adalah lakon Panji.
Panji yang dimaksudkan yaitu seperti pada kutipan berikut ini. Panji adalah
sebuah lakon yang mengisahkan seorang pangeran dari Jenggala (Kahuripan) dan
seorang putri dari kerajaan Daha (Kediri) yang ditakdirkan untuk menjadi
suami-istri. Pada permulaan cerita keluarganya mendukung untuk melangsungkan
perkawinan itu, tetapi tiba-tiba ada rintangan, misalnya karena sang pangeran
sudah menentukan sendiri kawan hidupnya dan tidak meninginkan seorang wanita
lain sebagai istri atau karena sang putri oleh karena sesuatu sebab tiba-tiba
menghilang dari keraton. Sang pangeran kehilangan kekasihnya dan dengan
bersedih hati ia pergi mengembara untuk mencari kekasihnya yang dikiranya masih
hidup. Pada akhirnya keadaan menjadi jernih kembali, dan sang pangeran dengan
sang putri yang rupa-rupanya sudah ditakdirkan menjadi suami-istri lalu
melangsungkan pernikahan. (Berg, 1985: 87-88; Bandem, 1996)
Keberadaan
kerajaan-kerajaan di Jawa Timur yang menyelenggarakan ritus-ritus pemujaan roh nenek moyang telah
mengambil peran secara konstruktif dan bersifat kreatif, sehingga berbagai seni
pertunjukan yang di antaranya seni pertunjukan “Topeng” dapat dilestarikan
dalam konteks perkembangan sosial religius masyarakatnya. Kondisi tersebut
terjadi seperti seni pertunjukan topeng
di Bali. Seni pertunjukan yang menggunakan
media topeng diyakini bermula dari abad XIII. Lakon yang disajikan adalah
Ramayana (Slattum, 1992). Jika menyimak kenyataan tersebut, dapat dipastikan
bahwa wayang wong di Bali
adalah perkembangan dari Wayang Wwang.
Selama masa
pemindahan pusat pemerintahan di Jawa Tengah (Demak), yaitu sejak 1519 M. Jawa Timur menjadi daerah yang jauh dari pusat.
Akibatnya, seni pertunjukan yang pernah
populer pada masa sebelumnya, seperti wayang topeng praktis tidak mendapatkan
perhatian. Namun demikian, seni pertunjukan yang telah berakar kuat dalam
masyarakat selama abad VIII- XV, ternyata masih dapat ditemukan di Malang, walaupun fungsinya sudah berubah. Wayang topeng yang
kini masih berkembang adalah sebagai media penghormatan roh nenek moyang.
Mereka itulah yang tinggal di sumber-sumber sungai yang tersembunyi, yang tanpa air,
yang tidak ditumbuhi padi. Mereka adalah pendiri dari komunitas dusun
yang telah menegakkan adat kebiasaan serta menjaga pertumbuhan. Nenek moyang
ini juga mengatur sumber-sumber kekuatan hidup magis, kekuatan yang menyebabkan
bukan saja hidup manusia, tetapi juga hidup binatang dan tumbuh-tumbuhan,
bahkan komunitas manusia (Holt, terj.
Soedarsono, 2000). Penghormatan pada nenek moyang disebut Suguh Pundhen Dusun. yang di samping itu sekarang juga sebagai seni
pertunjukan hiburan. Fungsi ini tentu akan berkait dengan fungsi seni
pertunjukan seperti yang dimaksudkan sebagai “tontonan hiburan”.
Penulis : R. Hidajat
Editor : Harda Gumelar
Posting Komentar untuk "Wayang Topeng Sebagai Tradisi Ritual di Jawa"