Aku sebenarnya bukan peminum kopi berat, tapi kadang-kadang
saja untuk menghalau mulut asam. Di rumah kami semuanya juga bukan perokok atau
peminum kopi, Ayah sejak masih muda tidak pernah minum kopi atau teh, beliau
sangat menghindari minuman yang mengandung cafein, bahkan menghindari manis.
Ayah rupanya menjaga benar kesehatan atau penyakit genetik, karena ibu punya
penyakit gula. Kami semua jadi merinding kalau mendengar kisah nenek. Beliau
pedagang berbagai kebutuhan sembako di pasar Karang tengah, tokonya tidak
besar, tapi berbagai macam barang ada. Gula, kopi, susu, metega, minyak kelapa
dan berbagai macam jenis berat. Pembantunya dua orang, mereka adalah
orang-orang yang diandalkan oleh nenek. Nenek orangya sangat dermawan,
pembantunya selalu diperhatikan kebutuhan hidupnya. Pokoknya mereka harus dapat
hidup layak, dan senang. Semuanya peminum kopi. Paman Umar dan bibi Lastri. Ibu
selalu membawa satu trermos besar kopi jika berangkat ke pasar. Kopi itu untuk
bertiga sehari.
Dengan keluarga juga sangat perhatian, nenek selalu membawa
oleh-oleh jika pulang dari pasar. Jika musim duren, nenek tidak hanya membeli
satu atau dua buah, tapi satu becak. Kurang lebih 15 sampai 20 buah. Nenek
sendiri bisa menghabiskan 5 buah sekali makan. Sungguh luar biasa. Semua orang
di rumah diberi satu-satu, jika mau tambah juga bolek. Kadang jika ada saudara
yang datang. 20 buah durian bisa habis seketika.
Aku tidak bisa
berkata-kata jika nenek sudah ada maunya, baik makan atau minum, mintanya yang
enak dan minum yang segar dan manis. Kami sering mengingatkan, agar nenek mau
menendalikan pola makannya. Namun beliau bilang, “dulu aku ini orang ndesa,
tidak punya apa-apa,miskin!. Sekarang aku bisa beli, kenapa kalian
melarang-larang.” Kakek tidak pernah berkomentar, beliau diam saja. Namun rasa
sayangnya sangat besar terlukis di wajahnya. Kakek orangya sabar, pendiam, sehingga anak-anaknya
merasa segan. Hanya nenek yang seringkali banyak mencaci maka kakek. “bapakmu
itu bisanya menghabiskan barang-barang, sedikit-sedikit dijual. Sampai
alat-alat dapur yang sudah peot-peot juga dijual.” Jika nenek sudah
ngomel-ngomel, Kami semua terdiam,
terutama paman, Darman, kakak ayah.
Paman Darman bekerja
di PUSKESMAS desa, jadi pembersih kantor. Kadang paman Darman juga ikut
menasehati jika nenek sudah bawa makanan yang manis-manis. “Bu, kalau makan
yang manis-masih harus diatur.” Nenek kontan menyambar peringatan paman Darman.
“E,..e…e, kamu pegawai Puskesman, kalau nasehati ibunya kayak dokter!” Paman
Darman, tidak lagi berucap. Ayah melihat muka paman Darman yang mendadak
menjadi asam, juga agak diwajahnya terlukis begitu besar rasa sayangnnya pada
nenek.
Pola makan dan kegemaran makan dan minum yang tidak terkendalikan
itu, nenek benar-benar jatuh sakit. Dokter mendiaknosis, bahwa penyakit nenek
diabetis. Harus dapat mengatur pola makan, dait ketat. Ada dua lembar aturan
pola konsumsi yang harus dipatuhi. Namun semuanya tidak berlaku, jika badan
nenek terasa enak. Semua makanan dilahap, jika dirumah tidak ada makan. Nenek
makan di warung. Bahkan kegemaran minum kopi juga tidak dapat dihentikan, kopi
pekat dan manis.
Nenek sejak kecil memang peminum kopi berat, bahkan ayahnya
juga peminum kopi. Katanya kopi dapat menambah semangat bekerja. Badan jadi
tidak loyo. Oleh karena itu, setiap malam jumat legi. Nenek selalu mengingatkan
ibu, untuk membuat secangkit kopi panas dan menghidangkan di sudut ruangan,
kadang di sertakan juga secangkir air putih dan bunga. Kata nenek itu sandingan
untuk eyang. Biar eyang senang.
Kami semua tidak dapat berbuat banyak. Akhirnya nenek
meninggal bersama penyakitnya. Oleh karena itu, ayah selalu waspada. Penurunan
penyakit genetik dapat menjangkiti keturunannya lebih besar. Paman Darman juga
demikian, namun tidak dapat meninggalkan
teh panas tanpa gula, tawar. Katanya dapat memberikan semangat jika bekerja.
Malam hari seringkali membuat minuman jahe. Tapi tidak setiap hari, kadang
seminggu dua kali. Kata paman untuk menyegarkan tubuh, biar tidak loyo. Minuman
kegemaran paman selalu dibuat sendiri. Istrinya. Bibi Romlah tidak pernah
sempat mengurus paman. Dia kerja di Koprasi simpan pinjam di luar kota. Di sana
mengontrak satu bilik kecil, untuk istirahat. Paman Darman kadang mengunjungi,
seminggu sekali atau dua minggu sekali. Mereka belum dikaruniai momongan. Semenjak
nenek meninggal bibi Romlah berhenti bekerja, dia tinggal mengurus rumah
bersama-sama ibu. Mereka sebenarnya tidak terlalu cocok satu sama lain. Bibi
Romlah orangya kikir. Mungkin latar belakang keluarganya yang penghasilannya
pas-pasan, maka konsep hidupnya hemat. Paman selalu diomeli, jika setiap pagi
buat teh panas. Dia selalu membandingkan dengan ayah. “Sampeyan perlu belajar
pada mas, Rahmat. Minum cukup air putih. Sehat. Teh, juga ada zat adiktifnya.
Gak sehat. Pegawai Puskesmas mestinya paham.” Paman Darman tidak bergeming.
Secangkir teh panas tawar tetap diteguknya hingga habis.
Ibu tidak pernah berkomentar, dia hanya menyadari. Mungkin
bibi Romlah hanya menyadari kalau suaminya penghasilannya tidak besar. Bahkan
semenjak dia berhenti sebagai karyawan asuransi, tentu incam keluarganya jauh
berkurang. Untuk menahan rasa malu itu, bibi tampak lebih ketat mengawasi paman
Darman.
Semenjak nenek meninggal, ketika 40 hari berlalu. Rumah kaki
menjadi ramai. Banyak keluarga yang sering datang menghibur. Bahkan Daryati,
keponakan ayah, anak bibi Darsimah yang tinggal di Sampang, Madura. Dititipkan
pada ayah, katanya tahun depan ingin kuliah di PGSD, kelak bisa jadi guru. Kami
semua tidak keberatan, asal semua dapat saling mengerti. Penghuni rumah kami
menjadi bertambah, walaupun berkurang. Karena nenek sudah meninggal. Kakek,
ayah, ibu, paman Darman, bibi Romlah, dan Daryati.
Daryati, anaknya rajin. Pagi hari sudah bangun. Membantu
membersihkan lantai dan halaman. Bahkan dia juga pandai masak, bibi Romlah
tampak sangat senang. Karena pekerjaan dapur ada yang membantu. Anaknya juga
periang, banyak bicara. Baru tiga hari tinggal bersama kami, cerita tentang
ayah ibunya sudah kami dengar semuannya. Bahkan, masa kecil dan kegemarannya
semuanya telah diceritakan. Kami semua sangat senang. Kadang aku juga bertanya
tentang kucing atau ayamnya di Sampang. Dia menjawab dengan riang dan polos,
binatang peliharaan di rumahnya sangat dia kenal. Ayah jagonya di beri nama
Sokran, kucingnya di berinama Sukri. Kadang aku berkelakar, “Apa cicak di
rumahmu juga ada namanya?” dia menjawab dengan santai, “jangankan cicak tidak
diberinama, di rumah juga ada jin,
namanya Darmaji.” Aku terdiam sebentar, Darmaji kan adik ayah. Ketika aku
tersadar, kami berdua tertawa lepas.
Setiap malam aku mulai gelisah, mulut terasa asam. Pikiran
juga tidak dapat dipacu untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Kadang
setelah suasana sepi, aku ke dapur membuat secangkir kopi panas. Aku segera
menuangkan ke lepek, satu lepak segera membasahi leher dan terasa sangat
nikmat. Baru aku dapat memulai untuk membaca buku, atau mengerjakan tugas
kuliah. Setengah atau satu jam berselang, aku terkejut. Tiba-tiba kopi yang
tinggal setengah gelas itu hilang, habis. Padahal tidak ada orang yang
bangun.Semuanya sudah tidur. Ketika pagi hari aku ceritakan,semua orang tidak
ada yang bertanggung jawab atau mengakui telah menghilangkan sisa setengah kopi
panas itu. Aku juga tidak mempersoalkan hal itu. Malam berikunya aku juga
merasa gelisah dan membuat secangkir kopi panas lagi, aku minum setengahnya.
Kemudian aku melanjutkan aktivitas di kamar. Seperemat jam kemudian aku kembali
menghampiri kopi yang tinggal setengah gelas itu, aku terkejut. Kopi di atas
meja makan itu sudah habis. Aku juga tidak kepikiran membawa kopi itu ke kamar.
Keesokan hanya juga aku ceritakan kembali, bahkan Daryati nyeletuk keras, “Mas,
Ogik! Kopi sampeyan mungkin diminum jin.” Ayah, kakek, dan bibi Romlah tertawa.
Kakek juga merespon, besok-besok jangan bikin kopi, coba bikin susu. Aku jadi
penasaran….apa mungkin, kopi diminum jin.
Ketika malam mulai larut, semua sudah tidur. Aku tidak
seperti biasanya merasa gelisah. Tapi tidak ada sesuatu yang ingin aku
kerjakan. Aku teringat usul kakek. Aku buat susu cokal manis panas. Memang sama
nikmatnya dengan kopi, aku kembali kekamar. Aku segera merebahkan badan, hampir
setengah jam aku memandangi langit-langit rumah yang sudah tampak lusuh.
Bercak-bercak air bekas rembesan air hujan menghiasi internitnya. Ketika aku teringat susu yang
aku tinggal di meja makan, lalu bergegas bangkit dan menghampirinya. Ternyata
susu itu masih utuh. Aku jadi penasaran, apa jin tidak suka susu cokat. Bahkan
aku terlintas berpikir, apa arwah nenek yang minum kopi?. Sejak nenek meninggal tradisi menghidangkan
kopi untuk sandingan tidak lagi dilakukan.
Kesokan harinya aku menceritakan pengalaman malam itu, semua
orang di rumah pagi itu kembali tertawa. Daryati, di dapur. Rupanya dia juga
mendengar ceritaku. Bahkan aku berulang-ulang mengatakan, ‘Benar kata kekek,
jin di rumah ini memang tidak suka susu coklat.” Setelah itu semuanya pergi
menyelesaikan ususannya masing-masing, paman Darman berangkat ke Puskesmas,
ayah berangkat mengajar, ibu juga pergi kepasar mengurus daganan yang
ditinggalkan nenek. Aku juga segera berangkat ke kampus.
Seminggu setelah peristiwa itu, aku mendapatkan banyak tugas.
Prof. Ahmadi, dosen akutansi memberi tugas sangat berat. Mahasiswa yang
mengambil matakuliah akutansi harus membaca 3 buku wajib dan dirangkum. Kami
hanya diberikan kesempatan satu minggu. Kepala serasa pecah. Sejak sore hari,
aku gelisah, buku yang harus aku baca hanya menempel di tangan, tidak ada
gairah untuk segera membacanya. Mungkin aku harus membuat kopi panas dulu.
Setelah air mendidih, aku menyedu kopi. Aku segera menuangkan dalam lepek, dan
segera meminum. Rasanya sangat nikmat, dan lega. Aku mulai termotivasi dan
menncoba untuk membaca buku yang ditugaskan prof. Ahmadi. Tidak berapa lama,
aku ingin meminum kopi itu kembali, sayang kalau dingin. Aku kembali terkejut,
setengah kopi panas yang ada di meja makan itu habis, hilang lagi.
Karya: Robby Hidajat
Posting Komentar untuk "SETENGAH GELAS KOPI PAHIT YANG HILANG"