Salah satu buku tentang Wayang Wong di Malang (Foto Ist.) |
Para pelajar dari kalangan
masyarakat kelas menengah sekitar tahun 30-50 sangat menggandrungi seni tari
Jawa gaya Surakarta; bahkan mereka cendrung eksklusif. Seni tari menjadi sebuah
ketrampilan yang langka dan berdrajat elite di kalangan masyarakat Malang. Hal
ini disebabkan belum maraknya tari kreasi, setidaknya Bagong Kussudiardjo
seorang koreografer kondang dari Yogyakarta pernah berguru pada tokoh tari
Surakarta di Malang, yaitu Lesmonodewo; seorang penari, penulis, dan pemerhati
budaya Jawa. Lesmonodewo juga menjadi narasumber pertunjukan di Jawa Timur
yaitu Ludruk yang ditulis oleh James Peicog.
Reputasi dan popularitas Wayang Wong di Malang
disponsori oleh masyarakat keturunan cina, seperti di Surakarta. Hanya untuk
menggali secara lebih mendalam tentang peranan orang-orang cina yang terlibat
dalam pengembangan wayang wong tampaknya sudah sangat sulit, sungguhpun belum
tertutup kemungkinannya. Seperti yang dilakukan oleh Rustopo yang berkerjakeras
menelusuri peran orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, dan
Hersapandi yang mencermati wayang wong dikalangan masyarakat cina. Sementara di Malang belum ada yang berniat
untuk melakukan pelacakan.
Beberapa data yang sempat ditemukan adalah
keberadaan wayang wong yang dibina oleh Ranting Gamelan (karawitan) wayang wong Ang Hien Hoo yang dicatat harian Suara
Merdeka Semarang; yaitu keikutsertaan wayang wong tersebut pada sayembara
wayang wong se Indonesia tahun 1962 di Solo (Surakarta) yang menampilkan lakon
Mintorogo. Pada waktu itu wayang wong Ang Hien Hoo dipimpin oleh Liem Ting
Tjwan.
Mintorogo merupakan lakon yang
pupuler, setidaknya lakon-lakon yang memfokuskan penampilan “Arjuna”, hal ini
terkait dengan daya tarik penari/pemain dan gerak tarinya yang lembut, suaranya
yang pelan tetapi menyimpan ketegasan. Banyak Lakon-lakon yang pupuler dengan
tokoh-tokoh Arjuna seperti: Srikandi Edan, Sembodro Larung, Palguna-Paldunadi,
Karno Tanding, Abimanyu Lahir, dan sejenisnya. Setidaknya daya tarik “Arjuna”
yang dimainkan oleh wanita tidak hanya digandrungi kaum adam, tetapi banyak
kaum hawa yang terpesona dan selalu menunggu di kursi deret terdepan (VIP),
khususnya para istri-istri juragan (bos) cina. Kasus sosial tentang dinamika
romantika tersebut sama seskali belum tersentuh, hal ini merupakan sebuah
peluang dalam mengkaji dinamika persepsi penonton wanita terhadap tokoh pria
yang diperankan oleh wanita. Lasimnya permainan lintas gender ini disebut
Transvestet, sebuah tradisi yang umum dilakukan di Jawa, Bali, dan tradisi seni
ritual di Indonesia. Pada seni ritual banyak yang mengetengahkan tokoh pria
berganti peran menjadi wanita, tetapi dalam tradisi wayang wong panggung tampak
sebaliknya, yaitu wanita berganti peran menjadi pria; khususnya peran Bambangan
(tokoh alus).
Di samping itu pencermatan pada
kecendrungan pemain cina atau keturunan cina belum tersentuh sama sekali. Peran mereka dalam pertumbuhan wayang wong
panggung sangat besar, tidak hanya di Malang. Tetapi di Surakarta, kota
kelahiran wayang wong panggung. Cina dalam perkembangan wayang wong di Malang
mulai tampak surut di tahun 1970-an, tetapi tidak demikian saja habis sama
sekali. Peran para keturunan cina dalam perkembangan wayang wong di Malang
dalam berbagai tujuan masih dapat dirasakan hingga tahun 1990-an. Topik kajian
tentang Cina dalam pertunjukan panggung
wayang wong di Malang masih belum tersentuh secara mendalam.
Peran serta tokoh-tokoh pengembang tari gaya
Surakarta di Malang yang sangat pupuler di tahun 1950-an dan pernah terhimpun
dalam HPKD (Himpunan Pelatih Kesenian Djawa) di Malang masih berkiprah hingga
tahun 1970-an, bahkan memiliki komunikasi dengan para guru tari di Surakarta
dan Yogyakarta. Mereka yang pernah memberikan warna tari gaya Surakarta di
Malang seperti Mul, Amiseno, Lesmonodewo, Sukri, Heru, Yasmanoe, dan Kamto,
serta tokoh legendaris yang memiliki metode pengajar cukup handal yaitu
Mardiman.
Sedikit banyak keberadaan HPKD
memberikan andil pada pertumbuhan wayang wong di Malang, sungguhpun tidak
sangat kuat sekali. Karena ada perbedaan pola pengetrapan antara tari Surakarta
yang dilatihkan sebagai penampilan terlepas; seperti tari Gatutkaca Gandrung,
Menakjinggo, Klana Topeng, Golek Srirejeki, Karonsih, dan sejeninya. Perbedaan
yang cukup menonjol adalah pada pola pengetrapan pembawaan dan kebutuhan pada
panggung pertunjukan yang seringkali dianggap kurang baku (tidak mematuhi
pakem).
Tentang munculnya kembali wayang
wong di Malang setelah tragedi politik tahun 1965 yang dibina oleh ABRI melalui
Ajendram yang dikenal dengan sebutan kelompok Wayang Wong Wijayakusuma;
perkumpulan ini berdiri dengan kembalinya pemain-pemain lama yang telah
memberikan warna pada berbagai wayang wong komersial yang berpusat di gedung
pertunjukan Flora di jl. Kudusan Malang. Wayang wong komersial di bawa binaan
ABRI tersebut masih sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah dan
atas, khususnya para wanita peranakan Cina atau orang-orang Jawa yang
diperistri oleh Cina.
Pada waktu itu kehidupan para pemain cukup baik; bahkan kualitas tari,
tembang, dan permainan instrumen gamelan. Bahkan bentuk-bentuk tari eskra yang
ditarikan oleh para pemain profesional. Pakian (kostum) dan juga perlengkapan dekorasi panggung
terpelihara dengan baik, permainan atraktif masih dapat memukau penonton. Hanya saja pola koreografi tidak seperti yang
berkembang di tahun 1990-an; khususnya dalam penyajian Festival Wayang Wong
Panggung Amatir (WOPA). Garapan koreografi pada festival tersebut menggunakan
pola koreogerafi akademik, hal ini juga disebabkan banyaknya para pendukung
wayang wong yang berasal dari perguruan tinggi seni. Tetapi pola Koreografi
wayang wong dari Malang yang waktu itu diwakili oleh perkumpulan Wayang Wong
Balapratama tidak mengalami penggarapan seperti yang dilakukan PMS (Pagyupan
Masyarakat Surakarta) yang tiga kali berturut-turut memboyong piala bergila Ibu
Negara Republik Indonesia; Tien Soeharto.
Sementara regenerasi pemain wayang
wong di Malang juga sangat bervariasi, semula mereka direkrut dari saudara
dekat para pemain. Sehingga ada beberapa keluarga yang terlibat dalam wayang
wong, tetapi pada priode tertentu khususnya memasuki tahun 1990-an para pelajar
dan mahasiswa, serta sarjana jebolan perguruan tinggi seni di Surakarta dan
Yogyakarta juga terlibat memperkuat. Tetapi para pemain lama yang telah memalang
melintang dalam dunia panggung wayang merasa kedatangan pemain baru kurang
memiliki potensial, mereka umumnya hanya dapat menari. Tetapi antawacana dan
kemampuan nembang (menyanyi lagu
Jawa) sangat kurang. Di samping itu kehadiran pemain baru tidak terlalu tegas
dalam mentukan pilihan profesi, mereka lebih menempatkan diri sebagai peraga
tari yang beragam. Wayang wong merupakan salah satu ivent yang mereka ikuti.
Sehingga mereka tergagung jika ada ivent atau kebutuhan pementasan tertentu.
Pengamatan serta kajian yang
menekankan pada aspek kesejarahan dalam penulisan ini masih kurang, setidaknya
pemikiran pada pembabakan perkembangan wayang wong di Malang juga belum mampu
tersentuh. Sungguhpun dapat disimak secara lebih umum.
Editor : Harda Gumelar
Lesmonodewo (alm) iku bapakku, koncone Amiseno pelatih tari juga; aku inget sewaktu bapak bersama Ang Hien Ho main wayang orang di gedung Cendrawasih dan juga sewaktu beliau bekerja dibawah koordinasi DAM VIII Brawijaya; bpk Lesmonodewo (alm) punya anak 8 dengan nama Bambang (B) dan Endang (E), bak puisi B E E B, B E E B; dulu kami tinggal di Jl.Ngantang I/5 Malang; Aku anak pertama (67th) Bambang Priyambodo tinggal di Bandung sejak 1975 sd sekarang.
BalasHapuswass/bbpriyambodo/0812.2033.8552
email : bbpriyambodo2018@gmail.com
salam satu jiwa