Rama dan Lesmana (Foto Abbiyu Ammar) |
PERKEMBANGAN TARI
Lahirnya tari bisa dianggap bersama dengan keberadaan manusia, yaitu sebelum
kodratnya manusia, sama bermain, bersenandung dan gegamelan, bersama bergerak
badan (menanggap irama tersebut), tentunya belum berbentuk tari seperti yang
kita lihat, seperti seorang ibu yang mengajak bermain anaknya, seperti yang
saya ceritakan didepan. Seperti apa bentuk tari saat itu, sungguh sama dengan
tarian primitif. Hal ini tidak aneh, semua kebudayaan atau kesenian yang
pertama kali (awal), tentunya masih sederhana sekali, tetapi kalau sudah
terlihat perkembangannya, maka tebal tipisnya tergantung pada kehendak zaman,
juga kehendak manusianya yang sama membutuhkannya. Ketika tahun 991 – 1043 pada zaman Prabu Erlangga di
Kahuripan, ketika mulai memerintah menjadi pendeta (Hindoe Javanche Kunst, door
N.J. Bab I, halaman 64 – 67) kebudayaan dan kesenian, tata pemerintahan dan
pertanian diperhatikan benar-benar.
Dikatakan bahwa semasa orang bisa menari (waktu itu) gamelannya hanya tiga
(instrumen): suling, kendhang dan gambang. Jadi seberapa besar bentuk tari
(masa itu) kalau kita bandingkan dengan tari yang ada di zaman sekarang, hal
ini bisa diukur juga dari kecanggihan gamelan tersebut, maka sudah bisa kita
pastikan tari saat itu belum elok wujudnya.
Sesudah pemerintahan Prabu Erlannga dan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi dua
(Jenggala dan Kediri), masa itu tidak terdapat cerita tentang kebudayaan atau
kesenian, termasuk juga tari. Pada tahun 1104 – 1157 kerajaan menjadi satu di
Kediri, sementara itu terlihat adanya kemajuan bidang kesussastraan, seperti:
surat-surat (kitab) Krisnayana dan Sumanasantaka, karangan empu Triguna, dan
serat Baratayuda karang empu Sedah.
Sejak tahun 1222 –1333 semua prajurit dan para Satria senantiasa terlibat pada
peperangan. Semua itu disebabkan adanya perselisihan di dalam kerajaan yang
selalu menghambat adanya pembangunan di segala bidang.
Pada tahun 1334 – 1389 pada masa kejayaan Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajahmada
dari Majapahit, pada waktu itu merupakan zaman kejayaan tanah Jawa. Waktu itu
seni tari, seni sastra, seni karawitan dan tembang mendapat perhatian yang
besar. Pada waktu itu jika sedang ada pesta-pesta biasanya Prabu Hayam Wuruk
senantiasa ikut terlibat dalam memeriahkan acara-acara tersebut, tak jarang
beliau juga turut juga menari, sedangkan ayahandanya menabuh gamelan ( sebagai
pengendang ), dan ibundanya membuat tembang dan menyanyikannya sendiri. Sebab
yang mempunyai tuntunan ( pakem ) seni adalah sang raja sendiri. Para pembaca
sekalian sekiranya dapat membayangkan betapa besar atau pesatnya kemajuan
kesenian pada zaman itu jika dibandingkan pada masa pemerintahan Prabu
Erlangga. Seperti yang telah saya kemukakan di depan. Sayangnya wujud dan
jumlah gamelan tidak terpelihara, sehingga tidak dapat diperkirakan sampai
sejauh mana perkembangan kesenian, khususnya seni tari pada waktu itu.
Bagaimana bangganya perasaan orang Jawa pada waktu itu, tetapi kemajuan
kerajaan Majapahit tidak begitu lama. Sepeninggalnya Prabu Hayam Wuruk di tahun
1389, kemudian muncul kembali pertikaian ( perang saudara ) yang kemudian
mengakibatkan keruntuhan kerajaan yang besar itu. Oleh karena itu para ahli
kebudayaan terhambat dalam usaha-usahanya mengembangkan kesenian.
Di tahun 1478 runtuhnya kerajaan Majapahit, menurut Babat Tanah Jawa. Pusat
kerajaan pindah ke Demak ( Jawa Tengah ) dan mulai berkembang agama Islam,
tetapi cerita Portugees de Brito di tahun 1513 masih ada Ratu Tanah Jawa yang
masih memeluk agama Hindhu yang sangat berwibawa, yaitu : Prabu
Girindhrawardhana dan kerajaan sesudah Majapahit itu adalah : Wilwatikta.
Sebenarnya runtuhnya kerajaan Majapahit bukan karena adanya serangan dari umat
Islam tetapi oleh karena orang-orang yang memeluk agama Hindhu sendiri. (N.J.
Kron Hindoe – Javaansche Kunst. Bab I, halaman 83 ). Menjelang tahun 1526 oleh
karena kekuatan agama Islam kerajaan Hindhu yang terakhir itu juga lenyap (
dari keterangan ini akan tampak bedanya, berdirinya kerajaan Islam di Jawa pada
tahun 1478 atau tahun 1526 ). Orang Jawa yang belum mendalami agama Islam ( masih
setia pada agama Hindhu ) kemudian pergi menyingkir ke daerah Tengger,
Blambangan ( Banyuwangi ) dan ke Pulau Bali. Di Pulau Bali para ahli kebudayaan
dan seni tari Jawa mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya. Sehingga
dapat menjadikan kebudayaan itu berkembang sesuai dengan lingkungan dan gaya
setempat.
Di pulau Jawa, pada tahun 1389 – 1526 kehilangan jejak adanya seni tari,
begitulah adanya kodrat alam. Dimana perkembangan dari kerajaan yang
bertahun-tahun lamanya dibangun, ternyata mampu mengubah semua. Atau bisa
membentuk / mengembangkan seni tari seperti seni tari di negara-negara lain,
umpamanya di Egypte antara tahun 2000 tahun atau 3000 tahun sebelum masehi,
tari dianggap seni yang luhur, terlebih lagi di Griekenland, negara kaya akan ahli
tari dan termasyur adanya tari-tariannya. Tari itu adalah untuk jalan
menunjukkan rasa kebaktian ( ucapan syukur ) manusia yang murni, berguna untuk
membina bangsa. Oleh sebab itu di tata warna-warni, dibagi-bagi dalam
jenis-jenis, seperti untuk upacara agung, keagamaan, tontonan umum atau hanya
untuk bersenang-senang saja, agar semua kepenatan terlepas. Di Rome ( Roma )
pada tahun 753 sebelum masehi, seni tari di Griekenland semua diajarkan, tetapi
mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan tari dari Griekenland.
Di antara bangsa Jahudi, 500 tahun sebelum masehi, bermacam-macam tarian
mendapat perhatian, selain untuk keperluan keagamaan dan keramaian umum (
tontonan ) juga ada yang digelarkan di padang pasir yang disebut Tari Padang
Pasir ( Weestijadans ). Begitulah sepintas sejarah tari di Barat., yang juga
tidak lestari hidupnya. Pada tahun 375 – 600 karena adanya penjajahan bangsa
barat yang disebut Volksverhuizing. Tari-tarian Timur yang indah jadi
terbengkalai dan tidak diperhatikan lagi.
Sesungguhpun demikian di tahun 1533 putri Katharina de Medicis yang
dipersunting oleh pangeran dari Perancis yang bernama Hendrik II, beliau mampu
mengembangkan tari di Perancis yang kemudian terkenal dengan sebutan Ballet
yang termasyur sampai sekarang.
Demikian pula tari Jawa yang sudah tenggelam di tahun 1389 sampai 1526, seperti
yang telah saya kemukakan di depan. Pada masa zaman kerajaan Pajang dan
Mataram, seni tari mendapat perhatian kembali. Tetapi siapa sebenarnya yang
mencipta tari-tarian seperti : Srimpi atau Bedhaya, Beksan atau Wireng. Ketika
kerajaan Pajang mengalami masa kejayaan di tahun 1547 – 1582 dalam kitab babad
( sejarah ) menceritakan; ketika raja memasuki singgasananya selalu diiringi
oleh sajian tari Bedhaya, Srimpi dan Beksan ( wireng ). Semua itu sebenarnya
jelas sudah ada diceritakan ketika Kanjeng Sultan Pajang yang diutus oleh
Sultan Mataram memanggil Ngabei Loreng Pasar yang disambut dengan tarian, waktu
itu yang menarikan adalah Raden Ronggo putra dari Mataram ( Putra Sultan Agung
). Demikian pula dengan tari Tayub di Mataram untuk kesenangan para pejabat
pemerintah.
Di zaman kerajaan Mataram yang pertama ( Panembahan Senopati ) di tahun 1582 –
1601 keadaan seni tari tidak berbeda dengan yang ada di kerajaan Pajang. Di
tahun 1638 – 1645 pada masa pemerintahan Sultan Agung kebudayaan dan seni tari
mendapat perhatian yang sangat besar. Serat Wirit Piwulang karangan Kanjeng
Sultan Agung, dimana beliau telah mengubah kuluk dan udeng menjadi kopyah dan
serban. Demikian pula Bedhaya Ketawang merupakan tari pusaka di keraton
Kasunanan Surakarta sampai sekarang (Handelingen eerste Congres Tool – Land –
en Volkwnkunde door K.P.A Hadiwijaya, halaman 87 – 90 ).
Sesudah masa pemerintahan Sinuhun Sultan Agung Hanyokro Kusumo pada tahun 1645
– 1705 di Mataram terjadi pertikaian sehingga para ahli kebudayaan dan kesenian
tidak sempat memperhatikan.
Pada tahun 1705 – 1719 pada masa pemerintahan Sinuhun Sultan Hamengkubuwana I
mulai muncul adanya kesenian, khususnya seni tari. Di Semarang Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom menari Tayub. Tetapi di tahun 1719 – 1755 ( mulai zaman
Sinuhun Amangkurat II sampai terjadinya perjanjian Giyanti ) mengalami
pemberontakan yang dilancarkan oleh para Pangeran dan ponggawa kerajaan.
Sehingga kesenian tidak mendapat perhatian tetapi jadi mengherankan dalam tahun
1746 – 1755 ( babat giyanti ) ketika perang Panaraga. Salah satu Bupati
bercerita adanya tari Bedhaya 7 rakit. Demikian pula pangeran Harjo Buminato
dalam masa pemberontakan masih sempat mengadakan pementasan Bedhaya dan Srimpi.
Babad Giyanti ( tanggal 13 Februari 1755 ) seni tari dan Wayang Kulit mulai
tampak perkembangannya. Pada waktu itu diceritakan : Sultan Hamengkubuwana I di
Ngayugyakarta Hadiningrat memohon pada Susuhunan di Surakarta untuk meminta
guru tari dan guru menatah wayang kulit.Ketika Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Anom dari Ngayugyakarta, diistana dijamu sesaji tari Tayub dan beliau turut
juga menari.
Tampaknya perkembangan seni tari semakin jelas pada saat adanya Beksan
Tranujaya di Ngayugyakarta Hadiningrat, dan adanya Wayang Wong di Mangkunegaran
dan Ngayugyakarta. Adanya bentuk-bentuk tari tidak berubah sampai sekarang.
Demikian pula dengan adanya gamelan, jadi jika dibandingkan dengan perkembangan
seni tari pada masa zaman kerajaan Kahuripan pada masa pemerintahan Prabu
Erlangga, tampak lebih maju.
Sepeninggalnya Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1792, penggantinya Sultan
Hamengkubuwana II yang kemudian menciptakan tari Bedhaya Semang yang mirip
dengan tari Bedhaya Ketawang di Surakarta, ciptaan Sultan Agung Hanyokrokusumo
dari Mataram.
Antara tahun 1822 – 1855 di Ngayugyakarta lahirlah Beksan Entheng yang
diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana V pada tahun 1855 – 1913. Raden
Tumenggung Purwadiningrat bangsawan dari Ngayugyakarta Hadiningrat menciptakan
tari jongkok ( tari Jengkeng ) yang disebut Langendhrija. Hal ini disebabkan
adanya petunjuk dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Perkembangan
Langendhrija menyebabkan timbulnya Wayang Wong Biasa (yang menari dengan berdiri).
Selanjutnya banyak bangsawan yang sama meniru seperti munculnya Semara Supi dan
Langen Mandhra Wanara ciptaan K.R.A. Dhanureja dan K.P.A.A. Dhanureja dari
Ngayugyakarta.Pecahnya perang dunia II tahun 1914 – 1918 mengakibatkan
terhentinya kegiatan seni tari di Surakarta dan Ngayugyakarta.
Karena adanya pengaruh dari kegiatan Java – Institut, yaitu perkumpulan yang
mempunyai tujuan untuk mengembangkan kebudayaan dari tari Jawa, Madura dan
Bali, yang didirikan pada tangal 4 Agustus 1919 (ketika belum mendapat ijin
pada tanggal 5 Juli 1918 sudah mengadakan kongres membicarakan perkembangan
Budaya Jawa). Kemudian di mana-mana berdiri perkumpulan yang berorentasi pada
Java-Institut seperti Sobokarti di Semarang, perkumpulan ini bertujuan
memajukan kebudayaan dan tari Jawa yang mendapat bantuan Gemeenteraad Semarang
yang berwujud subsidi dan telah mempunyai Schoyuwburg sendiri.
Merdhiguna dan Keridamtaya dari Surakarta, perkumpulan ini juga bertujuan
mengembangkan budaya Jawa, dei keraton Kasunanan Suakarta dan Kasultanan
Ngayugyakarta Hadiningrat, sertakadipaten Pakualaman dan Mangkunegaran yang
tampak semakin getol dalam mengembangkan tari dan karawitan. Di Keraton
Surakarta seni tari yang tampak pesat perkembangannya adalah Wireng yang
seringkali ditampilkan pada kongres-kongres atau pertemuan-pertemuan besar.
Jika di Ngayugyakarta perkembangan seni tari yang pesat adalah tampak pada
Wayang Wong dan Beksan yang telah berkali-kali digelar secara besar-besaran,
pementasannya sampai tiga sampai empat hari secara terus-menerus, sedangkan di
kadipaten Pakualaman dan Mangkunegaran juga tidak ketinggalan, selain Wayang
Wong dan Wireng, tari Srimpi pun mendapat perhatian.
Majelis Luhur Taman Siswa juga tidak mau ketinggalan, sejak tahun 1931 sudah
menyelenggarakan pelajaran seni tari, khususnya tari Bedhaya dan Srimpi dan
sudah pernah dipentaskan ketika diselenggarakan Konprensi Agung Perguruan Taman
Siswa di Ngayugyakarta pada tanggal 17 Desember 1933.
Penutup
Di sini perlu diterangkan supaya para pembaca menjadi jelas, sebab adanya
keterangan secara terperinci mengenai hal yang kecil-kecil sengaja tidak
dikemukakan dengan harapan tidak menjadi meluas (panjang lebar).
Tari Bedhaya atau Srimpi pada zaman dahulu banyak yang menganggap tari yang
hanya unutk keperluan keagamaan saja. tetapi pendapat itu belum beralasan dan
tidak pasti, sebab tidak ada bukti-bukti yang jelas. Adanya buku-buku karangan
para empu di masa kerajaan Kahuripan, Kediri, Majapahit dan Demak tidak ada
yang menceritakan Bedhaya atau Srimpi, maka jelaslah jika tari Bedhaya dan
Srimpi memang tidak untuk keperluan keagamaan, tetapi hanya untuk pagelaran
besar yang diselenggarakan oleh kerajaan, hal itu dapat dibuktikan sampai
sekarang.
Tari Bedhaya dan Srimpi telah mengalami perkembangan yang tinggi dan dianggap
sempurna (De Bedhaya og Serimpi dan skunt heeft len hoogte peil van
ontwikkeling bereikt door technisekheid en smaak) dan sudah termasyur (populer)
di dunia. Maka tidak mengherankan para remaja bangsa Eropa sama ingin belajar
menari pada perkumpulan Krida Beksa Wirama di Ngayogyakarta.
Di keraton Ngayugyakarta anak laki-laki sama belajar menari Badhaya dan Srimpi
dan dipentaskan pada waktu diselenggarakan ulang tahun kenaikan tahta raja
(tinggalan dalem) setiap tahun, dari Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan dan Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Anom yang disebut tari Bedhaya dan Srimpi Jejer
(laki-laki), tetapi di tahun 1814 sudah tidak lagi dipertunjukkan.
Tari atau disebut Beksan Trunajaya pada zaman dahulu digelar pada saat raja
mempunyai hajat menikahkan putera atau putrinya, tari tersebut diberangkatkan
dari keraton menuju kepatihan. Ditempat penyelenggaraan pesta tarian itu
diiringi dengan gamelan, dan penari-penarinya sama menunggang kuda. Disambut
oleh para bangsawan, Pangeran dan para Bupati. Pementasan tari tersebut mulai
pukul 20.00 (jam 8 malam) sampai pukul 3 pagi. Para penari yang berdiri
berjajar seperti seimpiangan wayang kulit, sejak mulai pertunjukan sampai
berakhirnya tidak boleh meninggalkan tempat, tetapi aturan yang demikian itu
sekarang telah dihapuskan.
Wayang Wong (wayang orang) di Surakarta pemainnya ada dua macam, yaitu :
(1). pemain
terdiri dari laki-laki dan perempuan yaitu penari laki-laki menraikan tokoh
laki-laki dan perempuan menarikan tokoh perempuan.
(2). Pemain
terdiri dari perempuan semua, baik memerankan tokoh laki-laki atau perempuan,
yaitu seperti: Langendriya di Mangkunegaran atau Wayang Wong Gedog (wayang
orang yang membawakan ceritan panji).
Mardiguna di
keraton Ngayugyakarta, Wayang Wong yang memainkan (menjadi penari) semuanya
laki-laki, baik memerankan tokoh laki-laki atau memerankan tokoh perempuan.
Demikian pula di Pakualaman, tetapi sekarang penari Wayang Orang di sama
menggunakan pemain campuran. Sekarang tata busana Wayan Wong di Surakarta dan Ngayugyakarta
tidak jauh berbeda, yaitu meniru tata busana pada Wayang Kulit, tetapi pada
masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII di Ngayugyakarta, tata busana
Wayang Wong semuanya menggunakan udeg-udegan (ikat kepala dari kain).
Wayang Wong topeng, tari rakyat di desa-desa (volkstooneel) tarian Wayangan
seperti tari Klana, maka tampak gagah-gagah. Cerita-cerita yang digunakan
tampaknya sama, tata busananya memakai udeg (ikat kepala dari kain). Pemainnya
semuanya laki-laki. Guru yang mengajarkan dan yang menentukan peran pada Wayang
Wong tersebut adalah dalang-dalang desa, sayang sekali sekarang Wayang Topeng
yang pernah populer di desa-desa sudah punah, sekarang topeng-topengnya sudah
banyak yang dijual. Sekarang yang mengajarkan dan menentukan lakon adalah Krida
Beksa Wirama.
Tari Jongkok (joged jengkeng) sampai sekarang tari ni masih belum tampak
perkembangannya di Ngayugyakarta, kira-kira tarian ini tergolong cukup sukar
dan berat atau kurang menarik. Jelasnya lebih mudah melakukan atau menarikan
tari berdiri, buktinya setiap anak desa yang sudah pernah melihat Wayang Wong
tentu akan mudah mempelajari wayang wong tersebut. Jika dibandingkan adanya
baik atau tidak, menarik atau tidak memang tidak dapat dibadingkan, tetapi
semua harus dikembangkan dan tidak boleh diabaikan.
Tari Tayub adalah tari yang mudah dipelajari sebab tidak mempunyai
patokan-patokan gerak atau gendhing, semuanya tidak memiliki aturan yang pasti,
hanya saja pada penyajiannya sering kali disalahgunakan, sehingga hilang ciri
khasnya. Kemudian cenderung sebagai Janggrungan yang mudah mengarah pada
hal-hal yang melanggar tata susila.
Tulisan ini tidak membarikan wawasan yang luas dan mendala, tetapi semua ini ke
luar dari perasaan saya yang polos, ingin mengemukakan kenyataan yang saya
alami dan sejauh pengetahuan yang telah saya pelajari.
KOMENTAR
Tulisan BPA Surjadiningrat yang berjudul Babad lan mekaring joged Jawi yang
ditulis tahun 1934 jika disimak tampak sangat sederhana, akan tetapi jika
diperhatikan ketika tulisan tersebut dipublikasikan. Tampak pemikiran pangeran
Jawa tersebut dapat memberikan gambaran yang cukup mendalam perihal kesenian,
khususnya seni tari.
Pemikiran yang dilontarakan sangat mendasar, yaitu menunjukan bahwa kebudayaan
Jawa memiliki peranan dan arti yang sangat penting, khususnya yang bersangkut
paut dengan keberadaan. Penolakan BPA Surjdiningrat tentang anggapan umum bahwa
kesenian Jawa berasal dari kebudayaan Hindu adalah sebuah sikap yang sangat
tegas.
Hanya karena adanya perasangka atau anggapan yang menganggap bahwa semua
kebudayaan Jawa berasal dari kebudayaan Hindu. Jadi semua yang ada di tanah
Jawa dianggap sebagai tiruan, atau barang bekas… sungguhpun demikian semua itu
dapat disanggah dengan kenyataan yang ada, yaitu bahwa orang Jawa itu mempunyai
kesenian yang asli, salah satunya dalam bentuk tari (joged) seperti tari
Bedhaya, Srimpi, Wayang Wong, Beksan, Wireng. Di samping itu juga mempunyai
banyak kekayaan lain seperti gamelan, seni lukis, seni ukir, dan lain
sebagainya.Sanggahan senada juga dilontarkan oleh budayawan Indonesia
Sutantakdir alisahbana
perlu kita ketahui dari zaman ke zaman dari zaman dluu seni suda lahir namun tidak secanggih saat ini,oleh karena itu kita sebagai generasi penerus seni di indonesia harus memiliki kreativitas dan terus mengembangkan seni untuk penerus yang akan datang agar seni tidak di anggap sebelah mata dan menjadi seni sebagai maskot dunia
BalasHapusTulisan BPA Surjadiningrat yang berjudul Babad lan mekaring joged Jawi yang ditulis tahun 1934 jika disimak tampak sangat sederhana, akan tetapi jika diperhatikan ketika tulisan tersebut dipublikasikan. Tampak pemikiran pangeran Jawa tersebut dapat memberikan gambaran yang cukup mendalam perihal kesenian, khususnya seni tari.
BalasHapus