DAMARIOTIMES - Istilah estetika pada awalnya berasal dari kata “aesthesis” berasal dari bahasa Yunani dan berarti pencerapan, persepsi, pengalaman, perasaan, pemandangan. Kata ini untuk pertama kali dipakai oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman, menguraikan tentang cabang filsafat yang melingkupi realitas seni dan keindahan. Paparan tentang pemahaman estetika tersebut dikemukakan dalam buku berjudul Meditationes Philosophicae de Nomullis ad Poema Pertinentibus (1735). Karya tersebut diterjemahkan dalam edisi bahasa inggris berjudul Reflections on Poetry. Maka pada pembahasan ini dimaksudkan untuk mencari unsur-unsur estetika (keindahan) yang dapat digali dari kearifan lokal, dalam hal ini yang tersimpan dalam budaya Jawa. Salah satunya adalah dalam wayang purwa.
Wayang berdasarkan estetika Jawa (Foto Ist.) |
Wayang sebagai
prodak budaya Jawa memberikan suatu pendangan ke dalam hidup mistik Jawa yang telah
meresap dalam kehidupan masyarakat. Memberikan pemahaman tentang semesta
kehidupan, baik sosial, politik, pendidikan, religus, dan juga seni (keindahan)
kepada masyarakat Jawa dalam memecahkan persoalan-persoalan yang penting dalam
kehidupan. Dalamkaitan tersebut sudah barang tentu, wayang purwa pada sisi
tertentu memberikan sebuah pendangan yang memberikan kesadaran pada masyarakat,
yaitu tentang keindahan (estetik).
Estetik
yang dimaksud adalah sebuah citraan nilai-nilai yang dapat ditangkap rasa dan
jiwa. Masyarakat jawa memahami citraan estetik (keindahan) termanivestasikan
dalam berbagai perwujudan mulai dari sikap hingga wujud. Tetapi wujud tidak
selalu mampu digunakan sebagai acuan menggali makna, tetapi makna itu
dikonstruksi di luar wujud. Hal ini merupakan pemahaman dari paparan konsep di
atas, yaitu “manunggal”, “nyawiji”, atau “manjing”. Maka pemahaman tersebut
muncul sebuah etimologi estetika yang menempatkan sebuah citraan seni sebagai Endah, Edi, Peni, lan Migunani.
Empat prinsip tersebut memberikan
suatu kretria yang disebut seni, yaitu
(1) Endah yang
merupakan suatu citraan wujud dari sesuatu yang mampu dideteksi dengan panca
indra, seperti rasa menyenangkan, menentramkan, memuaskan, atau mengharukan.
Sehingga endah ini berrelasi dengan sifat feminism, yaitu Elok (cantik), Denok
(menyenangkan), Lulut (menghayutkan),
Nges (menggetarkan). Nges diidentivikasi oleh Sapardi Djoko
Darmono sebagai kompetensi seorang Dalang yang mampu menciptakan suasana
pertunjukannya mengharukan. Wujud visual berupa
tatah sungging wayang yang
digarap dengan teknik “ngrawit” (kecil dan halus). Pencapaian tataran endah membutuhkan ketekunan, kesabaran,
dan menata seluruh perasaan yang mampu menyatukan dengan objek seninya. Seorang
dalang dimungkinkan untuk mampu mengendalikan emosi, agar apa yang
diekspresikan mampu jadi pangeram-eram
(menyenangkan),
(2) Edi adalah
citraan keindahan dari sikap yang ditangkap melalui penghayatan rasa, yaitu
terkait dengan etika dan moralitas yang berkaitan dengan aspek “bener” dan
“pener” serta didasari dengan sikap religius tercermin pada Peni. Sifat kearah Edi lebih condong pada maskulinitas, seperti mengarah pada
perwujudan yang “bagus”, Besus, Cakrak, Cakrik, atau Rengguh.
Menghayati karakter-karakter yang gagah, kuat, dan tekanan suara yang rendah dan mantap. Maka Ki
Dalang dalam memainkan wayang diperlukan suatu ketrampilan yang membuat orang
terpesona,
(3) Peni, yaitu
citraan estetik yang menunjukan antara wujud, sikap, dan nilai interinsik
(konseptual, intelektualitas, dan religius) maka seringkali digabungkan menjadi
Edipeni. Sariyono
memahami Endah, Elok, Edipeni, dan Peni sebagai berikut.Endah berarti indah yang memikat, Elok berarti bagus yang menawan, Edipeni berarti indah yang mempesona.
Edi
biasanya diartikan indah luarbiasa, sementara Peni diartikan indah yang berharga. Seni dalam pemahaman budaya
Jawa tetapi tidak hanya berhenti pada tataran teknis, atau seni untuk
seni (I’art pour I’art). Bahwa seni
dalam lingkup budaya Jawa adalah seni yang bersifat fungsional, karena
berkaitan dengan harapan menyejahterakan komunitas, sehingga kereteria estetik
harus bersita Migunani, yaitu
berfaedah, berguna, mempunyai dampak praktis dalam kehidupan. Faedah artinya memberikan dampak pada
kesejahtraan lahir atau batin, orang melihat wayang mempu memahami aspek
sosial, moral, hingga religius.
Editor : Muhammad ‘Affaf Hasiymy
Benar adanya jika wayang merupakan prodak budaya Jawa yang memberikan suatu pendangan ke dalam hidup mistik Jawa yang telah meresap dalam kehidupan masyarakat. Memberikan pemahaman tentang semesta kehidupan, baik sosial, politik, pendidikan, religus, dan juga seni kepada masyarakat Jawa dalam memecahkan persoalan-persoalan yang penting dalam kehidupan.
BalasHapusEmpat prinsip tersebut memberikan suatu kretria yang disebut seni, yaitu Endah yang merupakan suatu citraan wujud dari sesuatu yang mampu dideteksi dengan panca indra.Edi biasanya diartikan indah luarbiasa, sementara Peni diartikan indah yang berharga.
BalasHapussetelah membaca artikel ini saya memahami bahwa estetika jawa memiliki 4 prinsip yang indah dan penuh makna
BalasHapusPada artikel diatas memberikan saya wawasan baru mengenai beberapa prinsip estetika Jawa yaitu ada endah, edi dan peni. Masyarakat jawa memahami citraan estetik (keindahan) termanivestasikan dalam berbagai perwujudan mulai dari sikap hingga wujud.
BalasHapusMenarik melihat bahwa estetika wayang purwa tidak hanya menonjolkan keindahan visual, tetapi juga memuat dimensi moral (Edi), intelektual (Peni), dan manfaat sosial (Migunani). Paparan ini menggambarkan bahwa bagi masyarakat Jawa, keindahan bukan sekedar sesuatu yang menyenangkan mata, namun juga berfungsi sebagai sarana menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang relevan dan bermakna.
BalasHapus