Gerak tangan (foto ist.) |
Perkembangan
tari dewasa ini memang lebih menekankan faktor kebebasan, seperti kebebasan
yang pada awal abad XX dari seorang penari Jawa yang bernama Raden Mas Jodjona;
seprang koreografer yang namanya sangat jarang disebut-sebut. Seniman asal
Yogyakarta ini lebih dikenal di negara Belanda, yang secara tidak langung juga
telah mempopulerkan tari Jawa. Hanya saja hasrat yang lebih menonjol adalah
ingin mencari kebebasan berespresi, yang waktu itu dianggap telah mengingkari
seni tari klasik Jawa.
Dalam kurun waktu hampir 1 abad, ternyata hasrat
untuk mengembarakan perasaan berekspresi semakin hebat. Artinya Raden Mas
Jodjona ternyata tidak sendiri, bahkan yang telah diperbuat oleh
seniman-seniman Indonesia, utamanya dari Jawa lebih jauh ketimbang yang
dilakukan Raden Mas Jodjona pada waktu itu.
Pada saat ini, seniman-seniman kontemporer telah
melakukan berbagai hal yang banyak kritikus menganggap telah mencapai apa yang
disebut kebebasan berkesenian, faktor-faktor yang semula menjadi pemikat oleh
karena konvensi atau “Pakem”, ternyata kini bisa hanya sebagai salah satu
referensi.
Kebebasan berekspresi, ternyata dalam ujud fisiknya sebenarnya
telah mengalami sebuah siklus balik. Karena perkembangan tari di Jawa tampaknya
telah mengalami perjalanan kembali pada bentuk-bentuknya yang sederhana. Sungguhpun dalam faktor fungsi, dan motivasi, serta impuls-impuls yang
mempengaruhi sensitivitas seniman memang sudah sangat berbeda.
Telaah yang ingin
dikemukakan adalah, bahwa evolusi tari Jawa dimungkinkan dapat diamati dari
segi makna simbolik dan bentuk ”Tangan ”, setidaknya pemikiran ini
dilandasi oleh pemahaman yang berkaitan dengan ”Tangan”.
Menurut seorang penari
dari Rusia, yaitu secha Leonchev mengatakan, bahwa tangan adalah wajah kedua
dari manusia, karena kemampuan berkespresi harus sama dengan wajah itu sendiri.
Artinya bahwa dinikmati dan atau dapat memberikan ungkapan estetik itu tidak
hanya dari wajah penari, tetapi tangan itu berbicara dapat diperhatikan dari
kemampuan kita dalam menangkap gerak dan bentuk tangan penari itu sendiri,
perhatikan gerakan tangan pada penari Bali yang selalu membuka dan bergetar
(fiberasi), sedangkan gerak dan bentuk tangan pada tari Jawa selalu menunjukan
bentuk yang detail, dan selalu berubah pada setiap gerakan-gerakan yang
disertainya.
Pernyataan Isi Hati
N.J. Marr seorang ahli fisiologi bangsa Rusia yang
mengemukakan “teori Jafet” yang berusaha membuktikan melalui perbandingan
linguistik, bahwa semenjak manusia purba merasa dapat menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi, termasuk didalamnya adalah “suara”. Maka mereka mulai
menyusun suara-suara sebagai bahasa isyarat untuk menyatakan maksud dan perasaannya.
Tetapi bersamaan dengan kemampuan komunikasi oral tersebut, sebenarnya tangan
juga telah mengikuti untuk menguatkan ungkapan isi hati, memimpin manusia untuk
berfikir, dan mengembangkan makna bahasa itu sendiri.
Dalam kaitan ini filsuf Yunani, Aristoteles juga
memberikan makna bagi tangan, yaitu: bahwa tangan manusia itu merupakan
“alatnya alat”. Demikian juga Anaxogoras juga salah satu filsuf dari Yunani
menyatakan, bahwa manusia sebagai “mahluk yang paling pandai di muka bumi ini
diantara mahluk-mahluk lain, karena manusia memiliki tangan”.
Tentunya –pernyataan para ahli tersbeut di atas,
setidaknya tidak diabaikan, bahkan ini dapat memberikan isyarat pada ahli-ahli
tari, setidaknya juga seniman tari itu sendiri. Bahwa apa yang diciptakan (kroeografi)
sebenarnya memberikan sebuah pernyataan-pernyataan lewat bentuk-bentuk tangan.
Sadar atau tidak, maka bentuk-bentuk koreografi yang telah banyak diciptakan
oleh banyak seniman telah menunjukkan bentuk-bentuk tangan yang tidak lagi
mengacu pada makna, atau simbolisasi dari wacana budayanya. Tetapi lebih
menunjukkan sebuah hasil stimulus dari ide-ide yang secara spesifik, seperti
adanya ungkapan dari ketidakpuasan dari kondisi sosial budaya, kecemasan akan
tergilasnya berbagai kepentingan hidup, ketakutan akan adanya konflik-konflik
sosial, dan sejenisnya.
Disini dapat disimak adanya bentuk-bentuk tangan
yang cenderung berbentuk “kepalan”, “tunjukan”, “cengkeraman”,dan atau “seluruh
jari membuka dengan tekanan yang kuat”. Jika fenomena ini sedikit dikembalikan
pada masa manusia purba, yaitu pada spesies manusia Homo Sapiens yang hidup
pada Kala Glasial (±80.000 tahun yang lalu).
Sepsies manusia purba ini hidup di goa-goa, dan berburu serta mengumpulkan
makanan, dan pada beberapa ribu tahun kemudian mulai mengenal kebudayaan
bercocok tanam. Bahkan mereka mulai mengenal ritus-ritus animistic, dan juga
totemistik.
Ritus yang meyakini adanya “roh” dan juga binatang
pelindung ini diperkirakan yang kini meninggalkan generasi pertunjukan
“Jaranan”.
Pada kesenian “Jaranan” dapat disimak adanya
bentuk-bentuk tangan yang sangat sederhana, yaitu:”menggenggam” (imitasi dari
gerakan menarik kendali) atau memegang cemeti, “membuka jari-jari tangan”yaitu
menunjukkan perasaan yang gembira.
Bentuk-bentuk tangan dari penari “Jaranan” ini
memiliki kemiripan dengan gerakan imitative dari manusia purba yang sedang
melakukan ritus minta hujan di Gurun Sahara; dengan tangan terbuka dan
seringkali mengepalkan tangan yang diarahkan keangkasa.
Gerakan dari bentuk tangan yang dimiliki oleh
manusia purba atau penari “jaranan”, tampak ada kemiripan. Disamping dari
keduanya memiliki maksud tertentu sebagai sebuah pernyataan dari kehendaknya.
Pernyataan Simbolik
Pada tari Bali, pada genre tari Legong Keraton yang
merupakan salah satu tari yang cukup tua usianya, yaitu semula dikembangkan
dari bentuk tari ritual yang bernama tari Sang Hyang sekitar 250 tahun yang
lalu.
Pada tari Sang Hyang yang merupakan jenis tari yang
digolongkan sebagai tari purba, yaitu sangat sederhana gerakannya. Umumnya
gerakan-gerakan diangkat dari hasil imitasi alam lingkungannya, bahkan bentuk
gerakannya masih bersifat improvisasi. Setelah hijrahnya masyarakat Majapahit
pada abad XV, maka unsur-unsur kebudayaan Hindhu kemudian memperkaya unsur-unsur
tari Sang Hyang, yang berikutnya tumbuh menjadi bentuk tari istana yang disebut
Legong Keraton.cerita yang diketengahkan adalah Lakon Panji.
Dari perkembangan bentuk tangan dan jari, pada tari
Sang Hyang yang lebih banyak menggunakan tangan dengan jari terbuka dan
menggenggam. Kemudian pada tari Legong Keraton ternyata bentuk tangannya
sudah mengalami pembentukan, dan memiliki makna; seperti menunjuk dengan dua
jari yang berarti marah, ulap-ulap gerak tangan menutup wajah karena silau, sekar
suwun megang bunga di depan kepala, dan lain sebagainya.
Editor : Marsam Hidajat
Posting Komentar untuk "Tahukan Tentang Gerak “Tangan “ Dalam Perkembangan Budaya"