Marsam Hidajat menari Remo (Foto Marsam Hidajat) |
Ide ludruk sebagai bentuk
pertunjukan, tidak mempunyai latar belakang yang jelas, tampaknya
semata-mata hanya untuk menambah penghasilan, di samping bertani. Karena itulah,
ludruk yang pertama kali ada, visualisasinya sangat sederhana. Pemainnya hanya
tiga orang, di samping pak Santik ada dua orang lagi yang berperan sebagai
pengendang dan sebagai Wedokan (pemain pria yang berperan
sebagai wanita). Pertunjukan trio tersebut merupakan ciri yang khas dari bentuk
ngamen atau barangan (mbarang).
Pertunjukan barangan yang dilakukan pak Santik dan kawan-kawan kemudian
dikenal sebagai Lerok. Istilah ini diturunkan dari kata Lorek (belang-belang).
Sebutan itu dikarenakan Pak santik jika berdandan (make-up) wajah pemainnya dengan bedak beras yang jika dioleskan
pada wajah menjadi tidak rata betul warna putihnya, sehingga tampak belang-belang atau lorek. Istilah ini butuh
ditelusuri lebih jauh, karena istilah lerok
sangat khas dan tidak ada istilah-istilah lain yang dapat dikaitkan dan dapat
memberikan pengertian.
Pada tahun 1915-an, pertunjukan barangan
versi pak Santik juga berkembang di daerah lain, salah satunya di Malang.
Pendirinya adalah Pak Mardjo, warga Desa Sanggrahan - Sengguruh, Kec. Kepanjen,
Kab. Malang. Sebelum menjadi warga desa tersebut, beliau berasal dari Kabupaten
Jombang. Lerok didirikan pak Mardjo oleh masyarakat Malang dikenal
dengan Lerok Srudin; karena tokoh utamanya adalah pak Srudin. Adapun
kawan main sebagai pelawak adalah pak Semprong dan pak Pohon. (Chattam AR
wawancara tgl. 20 Agustus 1995). Disamping lerok Srudin, di Kec. Tumpang ada
juga pertunjukan lerok dengan tokoh pelawaknya yang terkenal, yaitu Tarno
dan Samut.
Kedua tokoh tersebut sangat populer hingga lerok berkembang menjadi ludruk.
Keberadaan Lerok Srudin dan lerok-lerok lainnya di Malang dibenarkan
oleh Rasimoen, seorang bekas wedokan atau Tandak. Lebih lanjut
beliau menjelaskan, pertunjukan lerok di Malang memang masih sederhana.
Instrumen musik yang digunakan disamping kendang, terdapat pula saron dan gong
(Guci). Ciri utama pertunjukan lerok adalah Joged (Tari), Tembang
(Lagu), Lawakan (Komedi) dan lakon (Cerita). (wawancara dengan
Rasimoen Tgl. 24 Agustus 1995). Ciri tersebut adalah ciri yang khas dari teater
tradisional atau teater tutur (teater lisan) yang banyak berkembang dilingkungan
masyarakat agraris.
Pertunjukan lain yang dianggap sebagai cikal bakal Ludruk adalah Besud;
pertunjukan ini memiliki kemiripan dengan Lerok, tetapi memiliki model
penyajian yang berbeda, yaitu terletak pada tokoh sentralnya yang bernama:
Besud. Besud memiliki penampilan yang khas, yaitu pria yang menggunakan sembong
putih (Kain putih yang diikat sebatas dada, dan memakai topi ala
Aladin (topi Turki) berwarna merah. Rajit, seorang pemain ludruk tiga
jaman, menegaskan bahwa Besud merupakan sebuah pertunjukan lerok yang telah mencapai bentuknya yang khas,
artinya pertunjukan lerok yang mulai menemukan ciri khasnya. Karena tokoh Besud
yang menjadi tokoh sentralnya, maka masyarakat menyebut pertunjukan itu dengan:
Besudan.
Pada pertunjukan Lerok dan Besud, yang menjadi daya
tarik utama disamping lawakan (komedi) adalah Joged (tarian). Tari yang
berkembang dalam seni pertunjukan tersebut memiliki ciri maskulin, karena
menggambarkan tokoh bajak laut yang dikenal dengan Brajak. Di samping itu,
pola gerakan yang sajikan memang masih bersifat improvitatif, penonjolan yang
cukup penting selalu diiringi oleh bunyi kendang yang ritmis.
Dilihat dari karakteristik dan pola gerakan tari Brajak, pada umumnya tokoh-tokoh penari remo pada seni pertunjukan
ludruk di Malang percaya bahwa, tari Remo dilahirkan dari tari Brajak. Hanya saja pada tahun 40-an,
gerakan tari Brajak juga dipengaruhi oleh gerakan-gerakan wayang orang, terutama
motif gerakan Kiprahan dan Gandrungan.
Editor : Marsam Hidayat
Posting Komentar untuk "Tahukan Anda Tentang Tari Remo Pada Seni Pertunjukan Ludruk di Jawa Timur?"