Ronggeng Jawa; Ilustrasi yang digambarkan oleh Raffles dalam Bukunya The History Of Java (1978) |
Kepercayaan orang Jawa kuno yang
dilatar belakangi budaya agraris menempatkan ritus kesuburan sebagai
satu-satunya pernyataan pengharapan yang selalu didambakan oleh masyarakat.
Pandangan orang Jawa menyikapi tentang makna kesuburan tanah tidak hanya bersifat teknis, yaitu
selesai dengan mengolah dan memupuk yang kemudian menanaminya dengan benih
tanaman. Akan tetapi, selalu upayakan tindakan spiritual yaitu dengan melakukan
ritual untuk mendapatkan magis
simpatetis (sympathetic magiec).
Selanjutnya
Eliade menjelaskan bahwa pesta kolektif yang dimaksudkan untuk menjustifikasi
ritual dalam membentuk perkembangan vegetasi yang mereka langsungkan pada periode
kritis tertentu dalam setahun, misalnya ketika biji telah berkecambah (pembenihan) atau tanaman mulai
menuai, dan senantiasa memiliki hierogami sebagai model mitisnya
Apa yang
dilukiskan Eliade tidak jauh berbeda dengan Tayub yang selalu diketengahkan
sebagai bentuk upacara mistis tentang perkawinan, baik dalam pengertian yang
bersifat simbolik atau realistis. Ritus perkawanian memilih model ilahi, dan
perkawinan manusia mereproduksi hierogami, secara lebih khusus penyatuan langit
dan bumi sang suami menyatakan dirinya “akulah Sorga (langit)” dan sang
istri “aku adalah bumi”. Penyatuannya
serupa serupa dengan penyatuan berbagai
unsur, sorga (langit) merangkul pengantin wanita, dengan menyalurkan hujan yang
menyuburkan tanah (Eliade, 2002).
Mitos
kesuburan juga dipahatkan pada dinding candi Sukuh dan Ceta. Di atas lantai
batu dari pintu candi Sukuh, sebuah phalus (lingga) besar yang berhadapan dengan pasangan wanitanya. Di candi Ceta
sebuah phalus terletak sama yang
menunjuk ke arah batu segitiga yang horizontal (Holt, 2000).
Tayub jika dicermati secara sosiologis
menunjukan sebuah realitas yang
berkatian erat dengan struktur sosial masyarakat Jawa masa lampau.
Masyarakat Jawa menempatkan hak dan
kesempatan pria lebih luas
dibanding kaum wanita. Tayub merupakan
sebuah pernyataan prestisius pria di depan wanita. Hal ini menunjukan bahwa
pria adalah sebuah simbol kekuasaan atas wanita. Fenomena dalam kultur masyarakat Jawa menempatkan
wanita sebagian warga masyarakat yang tidak produktif, yaitu diposisikan pada
fungsi yang memiliki ruang gerak yang terbatas, di dapur dan di kasur.
Seperti yang dikemukakan oleh Sri Suranjati Sukri dan Ridin Sofyan (2001:6)
dalam bukunya : Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa. Fungsi
wanita dalam rumah tangga, yang dimulai dari masak (memasak di dapur untuk suami). Macak (berdandan untuk suami) , dan manak (melahirkan untuk suami). Pandangan tersebut memiliki kaitan
erat dengan ekspresi pria dalam pergaulan sosial budaya, salah satunya
tereflesikan dalam Tayub. Tayub tampak lebih utama diperuntukkan bagi kaum pria, sedangkan
wanita (ledhek) lebih berfungsi
sebagai partner penghibur untuk memuaskan
hasrat laki-laki.
Hal ini menyebabkan Tayub tidak
mampu dilepaskan dari prasangka buruk masyarakat, terutama dikalangan priyayi
dan masyarakat terpelajar. Priyayi Jawa seringkali menuduh Tayub sebagai
kegiatan prostitusi terselubung atau tempat berkumpulnya para pemabuk
(Moehayat, 2004:115). Geertz dalam buku Abangan,
Santri, Priyayi: dalam Masyarakat Jawa dan Thomas Stamford Raffles (1978)
dalam bukunya The History of Java
Raffles. juga memandang bahwa Tayub
adalah predikat yang kurang baik, karena dikaitkan dengan kegiatan
prostitusi terselubung. Sehingga penari yang secara khas juga disebut Ledhek atau keldek identik dengan pelacur. Pernyataan tersebut didapatkan dari
informan Geertz di Jawa sebagai perempuan sebagai taledhek (ledhek)
diberikan catatan hampir sebagai seorang “pelacur”, oleh karenanya
organisasi-organisasi perempuan seperti Perwari;
perkumpulan wanita kaum priyayi sangat membenci, dan menentang keberadannya.
Kesan a-susila dan atau dianggap menyimpang dalam koridor moral Jawa ini disebabkan
oleh cara pengibing memberikan tip
kepada teledhek, biasanya dilakukan
seperti Tayub yang berfungsi sebagai tari penghibur. Cara itu sangat unik dan
nakal yaitu dengan memasukkan uang ke dalam kain kemben pembalut buah dada ledhek.
Kedua fenomena tersebut menarik
untuk dicermati, setidaknya issu dalam pertunjukan Tayub di Jawa memang berorientasi
pada tema sentral yang menunjuk pada eksistensi pria dan wanita atau dengan
kata lain memfokuskan keberadaan pertemuan feminitas - maskulinitas. Pemikiran
tersebut jelas berorientasi pada paradigma dualitas.
Editor : Muhammad ‘Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Mitos Seni Pertunjukan Tayub Jawa"