Sindu Herlinanto, Sutradara Teater Modern yang getol belajar Ngludruk (Foto Ist.) |
DAMARIOTIMES
- Pelaku seni pertunjukan
di luar panggung ludruk kebanyakan
belum tahu tentang ludruk. Seperti halnya aktor dan sutradara teater modern ini.
Nama lengkapnya Dohir Sindu Herlianto, S.Pd. lahir di Desa Gunung
Geni Kecamatan Banyu Anyar Blok Nangger
Kabupaten Probolinggo 22 Agustus 1973.
Sejak remaja sudah akrab dengan seni pertunjukan rakyat, karena di Desa tempatnya di lahirkan sering melihat seni pertunjukan Rakyat mirip ludruk, yaitu drama tradadisional yang menggunakan bahasa Madura.
Cak Sindu (kanan) gladi resik di Pendopo Taman Budaya Yogyakarta dalam Acara Pekan Teater Nasional V (Foto ist.) |
Pemeran Rohes ini belajar
Ngludruk karena memahami bahwa di dalam seni
pertunjukan
ludruk itu menceritakan tentang kehidupan.
Artinya belajar ludruk belajar hidup, artinya ngludruk menurutnya tidak
sekedar pentas, berias diri
dan akting lucu-lucuan. Ternyata lebih daripada itu, ngludruk
adalah tempat latihan untuk merasakan segala perilaku
kehidupan. Karena selama ini yang
dipahami adalah: Ludruk itu mengandung suka duka nangis ngguyu (menangis dan
tertawa).
Pembina PPST SMP
Negeri 24 dan pembina Teater di SMA Negeri 10 ini belajar ngludruk benar-benar dari hati yang
dalam, bahkan setiap diskusi
membicarakan tentang ludruk. Ucapannya yang sangat menarik adalah “belajar
ludruk sama dengan belajar urip (hidup)”.
Seniman akademisi
yang sungguh-sungguh
ingin mengetahui kedalaman seni pertunjukan
ludruk di Malang ini. Ternyata, ketika masih remaja
sering nonton Ludruk Madura di Probolinggo
yang menggunakan dialeg Madura. Ketika di
Malang mengenal ludruk setelah bergaul
dengan Pak Yono dan Pak Wito, dan tokoh-tokoh
ludruk di Malang.
Dalam
pergaulan dengan seniman ludruk di Malang, ternyata banyak mendengar cerita yang di
alami oleh seniman ludruk tempo dulu.
Bahkan telah merasakan nikmatnya bermain ludruk, kemudian timbul keinginan untuk
mempelajari jadi ‘ludruk’ secara sungguh sungguh. Sudah barang tentu dimulai dari level yang paling
bawah, yaitu mulai akting ludruk sampai mendalami
filosofi ludruk.
Sindu Herlianto presentasi akting (Foto ist.) |
Pemain Kualisi Kendo Kenceng pimpian Sutak Wardhiono ini mulai
mendalami peran sebagai orang
Madura. Dalam pengahaytannya itu secara lebih intensif mulai mengkritisi seni pertunjukan ludruk. Karena seni
pertunjukan ludruk memang belum banyak di kenal
oleh generasi milenial. sebab
seniman ludruk masih belum dekat dan belum pernah menyapa anak-anak milenial. Sindu berpendapat, sebenarnya generasi
muda itu senang pada ludruk. Buktinya, ketika ada lembaga yang
mengadakan lomba atau pertunjukan
yang melibatkan anak muda, mereka sangat antusias menonton hingga pertunjukan selesai.
Menjadi pemain
ludruk, bisa ditemukan titik terang yang sesungguhnya bukan anak
muda tidak mau belajar ludruk, tapi karena tidak adanya seniman ludruk yang mau
menularkan ilmunya pada generasi muda. Kecurigaan
itu mungkin beralasan. Hal ini yang dapat digunakan sebagai introspeksi para
pelaku ludruk tradisional.
Lebih lanjut, Sarjana jebolan
universitas Gajayana Malang ini menjelaskan seni pertunjukan ludruk sudah
waktunya berganti baju, artinya ludruk sudah waktunya regenerasi, oleh sebab
itu biarkan anak muda belajar ludruk dengan caranya sendiri, yang terpenting
roh ludruknya tidak hilang.
Gagasan
yang dilontarkan itu memang beralasan.
Anak-anak
muda zaman sekarang untuk belajar
ludruk cara dan metodenya mesti berbeda. Jika seniman ludruk sepuh
menggunakan cara spelan tanpa naskah, untuk generasi milenial harus
menggunakan naskah, karena budaya anak sekarang adalah Budaya Baca, artinya
anak-anak kurang dapat menerima metode spelan. Mereka
akan lebih semangat dan cepat memahami
ketika mereka belajar Ngludruk melalui naskah.
Lebih detail, Sindu telah mengamati proses
kreatif dalam ludruk, dengan naskah atau spelan
itu hanya acuan untuk
memudahkan belajar ngludruk.
Seniman ludruk terbiasa dengan spelan.
Spelan
ada percikan budaya tutur,
sedangkan anak-anak pemula lebih dekat dengan baca tulis menulis, mereka
menganggap karya tulis yang bisa
dipertanggung jawabkan.
Anak muda sekarang
berbeda dengan orang tua zaman dulu dalam memahami setiap peristiwa, peristiwa
dalam pertunjukan ludruk biasanya mementaskan lakon, sebab akibat normatif,
bahwa yang benar mesti menang, yang
salah mesti kalah. Untuk anak muda beda cara pandangnya, berdasarkan realita
bahwa yang benar belum tentu benar dan sebaliknya. Terlebih sekarang pelajar
boleh membawa handphone
maka lebih kritis karena ilmu bisa di akses dari medsos, semua yang
pernah di ceritakan oleh orang tua sudah dibaca
dari google
Sindu paling kiri berperan sebagai Rohes dukun Sakti ( Foto ist ) |
Di dunia Teater
Sindu dekat dengan Tokoh Teater Nasional,
sebut saja Dindon Ws dan Fani Darmawan, Dengan seringnya diskusi dengan para pakar teater nasional. Maka timbul kesadaran untuk mempelajari
ngelmunya ludruk.
Menurut sutradara teater yang gemar menggunakan permainan level ini mengakui,
bahwa seniman ludruk tidak tahu
tentang teori-teori
pemeranan, tapi sudah paham dengan keilmuan seni peran, karena seniman ludruk
langsung belajar pada alam.
Dari pengalaman selama bergaul dengan para pakar
teater nasional, menyimpulkan bahwa seni pertunjukan ludruk harus dapat di terima oleh semua
kalangan. Kewajiban kita bersama sebagai seniman ludruk, mencari
metode yang
dapat diterapkan untuk melatih anak-anak milenial, baik dengan
metode spelan
atau naskah. semuanya perlu terus dicoba untuk mengajak anak-anak
milenial tidak malu belajar ludruk, karena dipundak mereka seni pertunjukan ludruk bisa
tetap ada.
Editor : Harda Gumelar
Posting Komentar untuk "Seniman Teater Modern yang Mendalami Seni Pertunjukan Ludruk Sampai ke Filsafatnya"