Pak Miari, sedang mewadahi gula-gula arbanat yang sedang dipesan anak-anak (Foto Ist.) |
Orang
dewasa tampak tidak menaruh perhatian besar terhadap pedagang gula-gula
keliling ini. Pasalnya sejak tahun 1950-an sudah banyak tersebar di Kota Malang
ini. Beberapa etnograf dari Belanda juga mencatat profesi pedagang keliling
ini, dimungkinkan manisan yang dijual keliling itu penganan kuna.
Jika diperhatikan dari teknik
pembuatannya, tidak berbeda dengan pembuatan ‘permen’ atau gulali. Hanya saja
gulali menggunakan bahan baku gula. Arbanat tidak hanya gula, namun 30 %
dicampur dengan tepung. Teknik pembuatannya seperti membuat mie tradisional
cina. Apabila tidak ada alternative lain, mungkin juga penganan gula-gula
tradisional ini juga berasal dari cina. Setidaknya sudah ada pada jaman
raja-raja Jawa pada abad XVII. Mengingat pengaruh cina pada abad itu sangat
kuat, bahkan Raja Brawijaya juga mempersunting wanita dari Campa.
Penganan
gula-gula model itu mungkin saja kegemaran wanita-wanita dari tanah sebrang
itu. Jika dibandingkan, gula-gula arbanat sangat berbeda dengan gula kapuk yang
memiliki rasa Barat (Eropa).
Gula-gula
arbanat, merupakan jajanan tradisional yang sudah mulai langka. Di Malang kini
tinggal 5-7 orang yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka mulai keliling ke
berbagai sekolah sekitar pukul 8. Sasaran utama pedagang gula-gula arbanat itu
adalah kesekolah taman kanak-kanan dan sekolah dasar. Mungkin kalangan
anak-anak itu yang menjadi konsumen yang paling besar, meningat pesaing dari
pangan yang manis kurang kompetitif. Di samping harganya juga tidak mahal,
hanya Rp. 1000,- sudah dapat satu
bungkus. Kurang lebih 50 gram. Walaupun demikian, jajanan gula-gula arbanat
yang sudah langka ini juga perlu diwaspadai. Warna gula-gula arbanat ataupun
gula kapuk tampak tidak alami, ada pewarna. Gula yang dicairkan diberikan
pewarna, kadang orang tidak dapat mengenali secara cepat pewarna apa yang
mereka gunakan. Semoga mereka tidak menggunakan pewarna tekstil, hal itu tentu
sangat membahayakan kesehatan.
Pedagang Arbanat
Pedagang
gula-gula arbanat ini sejak tahun 1950-60-an hingga kini tampak tidak mengalami
perubahan yang besar. Pada umumnya mereka mengenakan pakian yang gelap, kadang
bagian atas mengenakan pakaian baju Madura. Di dalamnya mengenakan kaus atau
kemeja warna muda atau terang. Tempat gula-gula terbuat dari kaleng bekas
minyak kelapa yang dimodivikasi sedeimikian rupa, sehingga di bagian atasnya
ada pembuka, di bagian depan ada kaca tembus pandang. Gula-gula arbanat dapat
terlihat dengan jelas. Di bagian samping ada tempat mengkait gula-gula yang
tebuat dari garpu, sementara bagian sisi kiri ada bagian yang ditutup seperti
penutup kaleng krupuk, itu tempat uang.
Alat untuk menarik perhatian masyarakat, utamanya anak-anak adalah rebab. Rebab itu memiliki dua dawai yang larasnya mendekati laras selendro. Jika diperhatikan cara memainkan yang diletakan di pinggang, rebab ini lebih dekat dengan rebab cina dari pada rebab Jawa. Ini tentu masih menarik bagi para peneliti ornanologi. Sungguhpun secara fenomena tidak mempunyai isu yang kuat, jika hal ini dilacak asal –usulnya tentu tidak memberikan pengaruh yang besar pada rebab Jawa yang sudah sangat canggih.
Alat sederhana yang dapat
menyuarakan melodi berbagai macam lagu, baik lagu langgam Jawa atau lagu-lagu
pop, terlebih lagu-lagu Banyuwangi. Terdengar sangat menarik, sepanjang jalan
yang dilalui terasa sangat terhibur. Miari yang tinggal dekat rel kereta api di
kampung Mergosono itu sudah lebih dari 15 tahun. Dia mengaku berasal dari
Lamongan, keluarganya memang penjual gula-gula arbanat di berbagai kota di Jawa
Timur.
Pada
tahun 1960-an, ayahnya berjualan di Surabaya. Sekarang dia bergabung dengan
beberapa teman dari beberapa kota, seperti Kediri, Sidoarjo, dan Tulungagung.
Bahkan kepiawaian pak Miari menggesek biola arbanat itu tidak karena ayahnya,
namun belajar dari temannya Tukino. Dia berasal dari Tulungagung, berbaai jenis
musik, terutama langgam Jawa sungguh sangat jago. Saya membayangkan, alat musik
langka ini jika dapat diproduksi dan diajarkan di sekolah dan diciptakan
ensambel gesek biola arbanat sungguh sangat menarik. Sekolah-sekolah tentu
tidak mengharapkan gula-gula arbanat yang mungkin tidak sehat, namun alat musik
itu menjadi kekayaan lokal yang nilainya tentu tidak dapat diabaikan begitu
saja.
Editor : Marsam Hidajat
Posting Komentar untuk "Rebab Arbanat Musisi Penjual Arbanat Keliling Kampung"