Sumber Ilustrasi piqsels.com |
Jika dunia ini masih
dihuni makhluk manusia, seni akan hadir menyertainya. Orang senantiasa
terus-menerus mengejar kesadaran dan
keyakiniannya tentang pentingnnya
menghadirkan estetika dalam kehidupan ini. Jika seni tidak hadir dalam
kehidupan ini, bagaikan sayur tanpa garam. Mungkin, kehidupan manusia tidak
memiliki perbedaan yang signivikan dengan binatang. Sungguhpun manusia itu
‘homo,’ namun homoestetikus hanya dimiliki oleh makhluk yang disebut manusia.
Berbagi cara dikejar
untuk menghadirkan ‘benda seni,’ (prodak seni). Seni dapat menggantikan
‘pribadi,’ eksistensi diri dalam ruang publik yang mampu menembus ruang waktu.
Kita terlebih dahulu harus sepakat, bahwa semua benda seni itu hadir karena
hasil kerja tangan manusia, sungguhpun penciptanya tidak mencantumkan identitas
atau inisial. Kemudian kita yang memberikan atau mengalihkan pribadi itu dengan
inisial NN (anonim).
Kehadiran seni itu ada sosok ‘pribadi’ yang
ada dibaliknya, ketika seni itu menempati posisi di atas rival-rivalnya, dan
seolah-oleh menenggelamkan atau menyembunyikan ‘pribadi’ yang melahirkannya. Hal ini menunjukan, bahwa seni itu tidak
semata-mata hasil dari kreasi, tetapi dia adalah ‘nyata.’
Pribadi yang hadir,
sehingga kehadiranya kadang tidak membutuhkan ke hadiran dari kreatornya (atau
kreator itu mati/dimatikan). Karena seni itu lahir sebagai peribadi, maka seni
itu menjadi sosok yang dapat kita sapa, bahkan menjadi bagian dari diri kita.
Pelukis besar Indonesia memaknai seni sebagai ‘jiwa katon’ (jiwa yang tampak).
Karena, jiwa yang ada dalam diri manusia tidak selalu tampak/ditampakan.
Kehadiran pribadi seringkali disembunyikan di balik
‘topeng.’ Apabila diperhatikan, dan dianalisis. Dia (seni)
akan menceritakan banyak hal, semakin tinggi pengetahuan, otoritas, dan
pandangan kita alam semesta ini. Seni itu menjadi semakin banyak menceritakan
dirinya sendiri. Artinya, pengamat, penonton, atau apresiator akan berdialog
dengan seni sesuai dengan tataran intelektualitasnya. Oleh karena itu, tidak
ada kebenaran mutlak dalam realitas seni itu, inilah energi yang sangat dasyat
yaitu ‘keajaiban dunia.’
Pertanyaan yang timbul
dengan sangat kritis
dan geram, ‘kita sebagai seniman telah dibuang kemana?’ Pertanyaan itu tidak
perlu muncul di benak, perhatikan anak-anak kecil yang bermain pasir di pantai,
mencoret-coret dinding rumahnya. Dia selesai sampai pada merasa kepuasan, dan
tidak membutuhkan penjelasan. Hal ini mohon tidak disalah artikan, bahwa rasa
dalam proses kreasi adalah daya kreaif, yaitu inti saripati dan sekligus
kedalaman, bahkan kejernihan.
Setidaknya, ketika
orang menghadapi karya seni. Dalam pikirannya akan tergambarkan adanya ‘rasa ingin tahu lebih mendalam.’ Bahkan secara emosional orang tidak
dapat menahan dirinya ingin mendekat sedekat dekat mungkin, bahkan kadang ingin
menyentuhnya. Ini merupakan bukti, bahwa karya seni itu berhadapan dengan
penikmatnya atas dasar ‘kontak’ emosional.
Emosi responsinya
tidak mampu dikendalikan, sungguhpun kita juga menyadari dengan mendekati karya
sedekat mungkin atau menyentuhnya tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan
terhadap rasa ingin itu. Para penyelenggara
seni pertunjukan menyadari, kondisi psikologis penonton, mereka memasang harga
yang mahal pada deretan bangku terdepan, atau hanya orang-orang khusus (VVIP)
yang boleh sangat dekat dengan pertunjukan yang sedang di gelar.
Orang-orang
sinematografi mengkonstruk gambar menjadi sangat besar, sehingga detail gambar
dapat disaksikan secara jelas. Mereka yang dapat menaksikan pada posisi tempat
(dijarak yang menjauh) harus membayar lebih dari mereka yang ada di depan.
Bahkan ada rasa bangga tersendiri jika seseorang mampu berada pada posisi yang
sangat dekat dengan artis, sehingga dirinya menikmati sensasi tersendiri. Ini
adalah mistri ‘seni.’
Kontak emosional dengan prodak seni membuat
kondisi hormon gairah ‘rasa‘ meningkat berlipat-lipat. Namun, kita harus
menyadarkan bahwa yang sedang kita hadapi itu adalah ‘vitualitas.’
‘fatamorgana.’ Fantasi imajiner yang melengkapi fenomena alam. Alam mampu
membuat kita terperanjat dan tak pusus-putusnya menahan rasa kagum, bahkan
hingga berucap, ‘Tuhan, engkau segalanya untuk yang ada.”
Empati ini yang diburu
oleh kurikulum K13. Kita mampu menyentuh hakekat “Ke Maha Esa-an,” dengan tanpa
alasan apapun. Sehingga setiap saat manusia dihadapkan pada suatu ke
mahabesaran Tuhan, dan menyadari kefanaan, kekurangan, kelemahan diri sendiri
yang tidak memiliki arti apapun di hadapanNya. Hanya satu jalan untuk menjadi
berarti, yaitu ‘proses belajar.’
Di sini, kita
menemukan ‘pribadi’ yang selalu dalam kondisi ‘proses belajar.’ Sehingga
pendidikan seni adalah sebuah cara yang mengkondisikan peserta diri dalam
kondisi proses belajar. Capaiannya tidak menjadi target utama, namun kesadaran
untuk merasakan perubahan pribadi benar-benar menjadi nyata. Sehingga dari
waktu ke waktu, dari tingkat ke tingkat, terasa benar bahwa pendidikan itu
menjadi penting dan berarti.
Penulis : Robby Hidajat
Pada artikel diatas memberikan saya wawasan baru yang dimana seni itu menjadi semakin banyak menceritakan dirinya sendiri yang didalam pikirannya akan tergambarkan rasa ingin tahu lebih dalam
BalasHapus