DAMARIOTIMES - Menjumpai pria mantan tandak ludruk. Dalam perbincangan santai di sore hari, di luar gerimis sejak sore hari tak kunjung reda. Ngatiyar, Priya kelahiran tahun 1935 dari pasangan Lasirin dan Janah menceritakan tentang dirinya sebagai tandak ludruk di Malang.
Ngatiyar / Mak Yar Seniman Tandak Ludruk Malang (Foto: Ist) |
Sebagai
tandak ludruk itu merupakan panggilan
jiwa, bukan profesi. Bahkan juga menekankan bahwa dirinya bukan ‘waria’,
sungguhpun dalam seni pertunjukan ludruk peran itu di sebut sebagai ‘wedokan’. Sehingga
tandak ludruk itu bukan dibuat-buat jadi ‘lembeng’ atau kemayu. Tapi jadi
tandak itu memang menghayati perannya sebagai aktor yang memerankan tokoh perempuan,
sebagai penyanyi, penari, atau anak atau istri.
Mak
Yar sambil duduk santai, mengisahkan dirinya. Pada awalnya tertarik sebagai
tandak ludruk bukan bekerja mencari uang. Karena pada waktu itu, sangat senang
sekali melihat tampilan tandak ludruk waktu manggung.
Pada waktu itu, Mak Yar, panggilan akrap yang di
lingkungan teman-teman sesama seniman ludruk. Kira-kira masih usia 10 tahun,
setiap ada ludruk ‘ngedong’ (ludruk yang main di bangunan darurat dari bambo)
menyaksikan ludruk dengan cara mengintip dari sela-sela anyaman bambu yang
terbuka. Pada waktu itu sangat senang sekali menyaksikan tampilan para tandak
yang tampil, mereka sangat cantik-cantik, bahkan suaranya juga merdu.
Suatu ketika, sudah lupa tempatnya. Namun Mak Yar masih
sangat ingat peristiwanya. Karena entah dorongan apa, Mak Yar lari dari rumah (minggat)
ikut rombongan ludruk Gembira Loka. Di kelompok ludruk itu, Mak Yar juga tidak
tahu mau berbuat apa. Namun pada suatu saat, ketika ludruk belum main. Mak Yar
berada di tempat para tandak sedang meke up. Pada waktu itu ada seorang
tandak yang langsung merias Mak Yar. Kata mereka, “arek iki ayu, ayu tibak e”
(anak ini ternyata cantik).
Pada waktu itu, Mak Yar tidak berontak, tapi hatinya
sangat senang, dan merasa ada dunia baru dalam dirinya. waktu itu sekitar tahun
1950-an. Usianya baru 15 tahun. Sejak waktu itu, dia mulai tampil sebagai
‘tandak figuran’. Belum nembang (menyanyi), masih joged-joged
bersama-sama, kemudian masuk.
Pada saat itu, hatinya sanggat senang sekali, melihat
penonton yang banyak dengan tepuk tangan yang meriah itu. Seakan-akan menjadi
orang yang sangat luar biasa. Hatinya bangga, namun tidak tahu, kebahagiaan itu
akan diceritakan pada siapa. Mengingat orang tuwanya tentunya juga tidak senang
anaknya jadi tandak ludruk. Agak sedih, tapi semua itu sudah jadi takdir. Semua
itu memang sudah jadi garis nasib yang secara iklas harus diterima dengan hati
terbuka, iklas.
Selama menjadi tandak ludruk yang sudah malang melintang
mengikuti berbagai kelompok ludruk di Malang. Pada tahun 1960 mulai mengikuti
ludruk profesional, artinya pada waktu itu mak Yar Sudah di bayar. Uang yang
diterima sudah sangat banyak, bisa beli baju, sepatu, kacamata, bahkan beli makananan
yang enak-enak bisa. Mak Yar sudah dapat mengirimkan uang untuk orang tuanya.
Ludruk yang pernah
di Ikuti diantaranya, ludruk Gembira loka, Jilmaan baru, Nusantara, Taruna,
Malang Selatan, Wijaya Kusuma unit II, Warna Sari, dan Malang Selatan. Ada
beberapa ludruk yang tidak ingat, mungkin karena waktu itu tidak lama
tergabung.
Selama menjadi tandak ludruk, mak Yar Sangat terkesan dan
mengikolakan seorang tandak yang luar biasa, yaitu bernama Yasin, bisa nembang
baru, bahkan bisa menari sangat luwes. Tandak dari ludruk Purnama Jaya
Sidoarjo.
Peran Mak Yar, selain jadi tanak juga jadi tokoh wanita,
bahkan juga pernah jadi mbok Sakerah yang berpasangan dengan Buang Sabar Arif.
Mainnya memeng sangat luar biasa, karakter sebagai tokoh Sakerah sangat wibawa.
Mak Yar merasa benar-benar menemukan pasangan main yang sangat luar biasa.
Menutup perbincangan, Mak Yar sangat bersyukur dapat
menjadi tandak, karena banyak pengalaman hidup yang dapat dipelajari.
Setidaknya hingga sekarang masih dapat merasakan, bahwa hidup ini bukan karena
pilihan, orang dapat saja bercita-cita setinggi langit. Namun jika takdir sudah
digariskan, hanya itu yang dapat disyukuri.
Editor : Harda Gumelar
Posting Komentar untuk "Ngatiyar Berkisah Tentang Nasibnya Sebagai Tandak Ludruk Malang"