DAMARIOTIMES - Menjadi tukang jahit memang bukan profesi pilihan, namun 50 tahun yang lalu. Pekerjaan menjadi tukan jahit sungguh dapat dijadikan penopang kehidupan yang layak. Seperti pengalaman Edi Suratno, salah seorang penjahit yang mempunyai kios di pasar Besar kota Malang lantai II.
Edi Suratno sedang pekerja di lapaknya (Foto: Ist) |
Pak
Edi, demikian orang di deretan lapak tukang jahit yang menerima segala bentuk
permintaan menjahit kain, bongkar dan permak pakaian bekas atau baru. Lapak di
deretan paling selatan lantai II Pasar Besar kota Malang. Tempat ini sudah
sangat lumayan, karena semua tukang jahit disatukan kurang lebih 20 lapak.
Lapak di pasar besar ini sudah jauh berkurang, dulu tahun 80-an penjahit yang
mengadu untung di sini sekitar 60 orang.
Penyusutan
tukan jahit di pasar besar ini dikarenakan pilihan profesi ini kini memang
sudah bukan pilihan lagi. Mengingat sekarang penghasilan sebagai tukang jahit
jauh menurut, hanya dapat untuk makan keluarga sehari-hari dengan kondisi yang
sangat sederhana.
Edi
Suratno mengenang zaman waktu masih belajar menjahit bersama ayahnya, sekitar
kelas 5 SD sudah bisa menjahit. Ayahnya bernama Supeno, adalah salah satu tukang
jahit yang memiliki keterampilan luar biasa, pada saat itu sangat laris. Karena
pakaian di toko harganya sangat mahal, maka orang lebih memilih menjahitkan
celana atau baju, ketimbang beli yang belum tentu enak dipakai. Dengan kondisi
yang demikian itu, Edi Suratno benar-benar tertarik menekuni profesi sebagai
tukang jahit dari pada melanjutkan sekolah, karena penghasilannya dapat untuk
membeli perlengkapan dan kebutuhan sehari-hari tanpa harus meminta pada orang
tua.
Ketika
belajar menjahit bersama ayahnya, mesin jahitnya tidak seperti sekarang. Dulu
mesin jahitnya diengkol dengan tangan. Para penjahit duduk bersila dibawah,
lesehan. Sangat santai sekali. Demikian Edi Suratno mengingat masa lalunya.
Ketika
Damariotimes menjumpai Edi Suratno di lapaknya, beliau menceritakan lika-likunya
sebagai seorang tukang jahit mulai sejak pasar besar kuno. Tempatnya masih
dibawah, karena pasarnya belum tingkat. Jika dihitung, usia Edi Suratno yang
sudah merangkat 70 tahun ini. Penghasilannya sebagai tukang jahit sudah dapat
membiayai dua anaknya, dan kini sudah mempunyai cucu. Mereka sudah memiliki
rumah sendiri-sendiri. Rumah yang sekarang ditempati Edi Suratno di Desa
Urung-Urung Bangkalan Krajan Kecamatan Sukun Kota Malang juga merupakan
penghasilannya sebagai tukang jahit.
Lepas
dari kenangan yang indah itu, Edi Suratno juga mengaku pekerjaan sebagai tukang
jahit semakin berat. Sungguhpun rekan kerjanya semakin berkurang. Hal ini
memang sudah zamannya, jika profesi sebagai tukang jahit mulai teralihkan
dengan profesi yang semakin beragam.
Edi
Suratno merupakan orang yang dianggap paling tua, dilapak tukang jahit pasar
besar. Sungguhpun beberapa tahun yang lalu juga ada penjahit yang lebih tua,
namun kini satu persatu meninggal atau sudah tidak lagi mampu bekerja. Dengan
kodisi saat ini, Edi Suratno merasa bersyukur, jika masih dapat diberikan
kekuatan dan ketabahan. Mengingat hampir dua tahun masa pandemi COVID-19 ini
masih diberikan anugrah Kesehatan.
Editor : Muhammad ‘Afaf Hasyimy
Posting Komentar untuk "Edi Suratno Penjait Tertua Di Pasar Besar Kota Malang"