Sesaji Dan Tari Ritual Nyai Dadak Purwo

 

Nyai Dadak Purwa dan Sesaji sebelum menari ritual (Foto: Ist)

DAMARIOTIMES - Siapa yang tidak mengenal sosok Nyai Roro Dadak Purwo seorang penari spiritual yang melakoni sebagai “Pawestri”. Setiap tampil berdandan seperti perempuan.

Sebagai pawestri: gejolak didalam diri, kadang perang batin. Kadang sering menyalahkan keadaan kepada Sang Pencipta. Karena merasa ada ketidakadilan hidup yang diberikan saat ini.  

Pertanyaan dalam hati, sering bergejolak, “Bagaimana kita tidak bisa menjalani kaidah bersyukur atas apa yang sudah digariskan, jalani dan lakukan perubahan menjadi lebih baik saat ini, karena dikehidupan yang akan datang, kita tidak tau akan ada kesempatan lagi kah?”.

Bahkan renungannya, selalu ingin mempertanyakan. “Bukan hanya memperbaiki kehidupan saat ini, misi leluhur, serta keseimbangan alam, karena ini merupakan garis kehidupan yang harus dialami dan kita rubah sendiri menjadi lebih baik”.

Pada saat tertentu, Nyai Dadak Purwo menjalankan ritual yang sebetulnya merupakan bentuk renungan suci atau manifestasi dari ekspresi penghormatan dan rasa syukur telah dilahirkan dibangsa nusantara. Upaya yang dilakukan bukan menyembah leluhur, namun semua itu dilakukan hanya menyembah Gusti yang murbeng dumadi.

Pada saat sesaji sebagai upaya mengekspresikan rasa cinta kepada para leluhur melalui tarian. Tarian yang diekspresikan menggunakan elemen gerak yang telah ada sejak zaman dahulu, yang disebut Krida Mataya.

Tarian yang ditarikan tidak ada skenario, murni keluar dari alam bawah sadar atau kerohanian. Sebetulnya gerakan itu semua orang dapat melakukan, karena semua itu merupakan elemen-elemen tari Jawa pada umumnya. Hanya saja ada perbedaan dalam menghayatinya.

 Setiap penampilan Nyai Dadak Purwo yang selalu berdandan ala perempuan Jawa. Busana seperti ini hanyalah sebuah ekspresi, karena dalam suatu ritual yang diyakini segala sesuatu yang ada dialam dunia ini terlahir dari seorang wanita. Bahkan segala sesuatu dari doa perempuan akan terlahir ekspresi dan akan dikabulkan jika hal ini diperankan oleh seorang wanita.

Dalam hal tertentu, sebetulnya dapat memerankan sebagai seorang laki-laki, namun ekspresi ibu dari para ibu seperti ibu Kendedes atau Dewi Kilisuci.  Beliau merupakan ibu dari seorang raja, dan memiliki kemampuan kebijaksanaan dinegaranya dalam mendidik para putra-putra atau generasi penerusnya.

Daripada itu, mengekspresikan sosok wanita merupakan simbolis dari manifestasi kesatuan lingga dan yoni. Wanita didalamnya lelaki dan lelaki yang didampingi wanita. Maka bukan waria atau banci, akan tetapi etos spiritual kale kale matunggal.

Pada setiap gerakan tari yang memiliki sandi-sandi rohani dan memiliki filsafat yang indah, dan didalamnya berisikan moral dan ajaran hidup yang luar biasa. Bahkan medium yang mengungkapkan gerak juga sebagai elemen simbolik.

            Pada setiap tari ritual yang dijalankan, tidak lepas disertakan sesaji atau uborampe. Bagi masyarakat Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Sang Pencipta, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol- simbol ritual yang memiliki kandungan makna yang mendalam.

    Simbol- simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak terjangkau, sehingga menjadi “lebih sangat dekat”. Simbol- simbol ritual tersebut, diantaranya adalah ubarampe (piranti atau hardware dalam bentuk makanan), yang di sajikan dalam ritual selamatan (wilujengan), ruwatan, labuhan, atau peringatan hari- hari tertentu.

Hal ini merupakan aktivitas pikiran, keinginan, dan perasaan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Upaya pendekatan diri melalui ritual ritual sedekahan, kenduri, selamatan dan sejenisnya tersebut, sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Sebagai simbol ritual dan simbol spiritual dalam selamatan (slametan), atau wilujengan, misalnya menggunakan sarana tumpeng dan berbagai jenis ubarampenya.

Tumpeng sendiri memiliki ungkapan dari “metu dalam kang lempeng” atau hidup melalui jalan yang lurus. Dalam ubarampe-nya ada ingkung (ayam yang dimasak utuh), memiliki ungkapan “inggalo njangkung”,“ inggala manekung” atau bersujud memohon kepada Sang Pencipta.

Dalam Ubarampe kadang ada beberapa jenis pisang yang digunakan, semisal pemakaian pisang raja memiliki maksud sebagai simbol dari permohonan terkabulnya doa ambeg adil paramarta berbudi bawa leksana, atau menjadi orang yang berwatak adil, berbudi luhur, dan tepat janji. Pisang raja, pulut memiliki maksud agar terbebas dari marabahaya. Selain itu sering dijumpai adanya “jajan pasar”,

Kadang setiap daerah memiliki elemen yang berbeda isi namun esensinya hampir sama, yakni sebagai sedekah untuk keselamatan hidup, terutama dalam bidang rohani, sebutannya  setatan winadi”.

Jajan pasar lambang dari sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturahmi), lambang kemakmuran. Selain jajan pasar terkadang ada buah- buahan, makanan anak- anak, asahan sekar, cok bakal dan sebagianya.

Tumpeng sendiri banyak jenisnya seperti tumpeng sangga langit, arga dumillah, megana, sewu, pungkur, asahan jenang, asahan pala- palaan dan sebagainya. Ubarampe sendiri merupakan penggambaran perjalanan hidup manusia dari keberadaan di dunia menjadi keberadaan setelah dunia sekarang, dinataranya; (1) Telur, sebagai lambang dari “wiji dadi” benih terjadinya manusia, (2) Bumbu megana (gudangan) merupakan lukisan bakal (embrio) hidup manusia, (2) Kecambah, simbol dari benih dan bakal manusia yang akan selalu tumbuh seperti kecambah, (4) Kacang Panjang, dalam kehidupan sehari-hari semestinya manusia selalu berfikir panjang (nalar kang nulur) dan jangan memiliki pikiran yang picik (mulur mungkrete nalar paling saluwir) sehingga akan selalu dapat menanggapi segala hal dan keadaan dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan, (5) Tomat, kesadaran akan menimbulkan perbuatan yang gemar mad-sinamadan dan berupaya menjadi jalma limpat sapratan tamat, (6) Bawang merah (Jawa; brambang), perbuatan yang selalu penuh pertimbangan, (7) Kangkung, manusia semacam ini tergolong sebagai manusia yang linangkung (tingkat tinggi), (8) Bayam (bayem) karenanya bukan mustahil kalau hidup menjadi menjadi ayem tentrem (penuh damai dan ketentraman), (9) Cabe merah (Lombok abang), akhirnya akan muncul keberanian dan tekad untuk menegakkan kebenaran Tuhan dan berani manunggal kepada Sang Pencipta, dan (10) Ingkung; cita- cita manunggal diwujudkan dengan selalu n’jungkung (bersujud), dan diperoleh dengan selalu manekung (semadhi)

Tempat yang digunakan untuk wadah ubarampe pun diperhitungkan dengan cermat menggunakan “ancak” terbuat dari tangkai daun pisang gajih dengan anyaman ditengahnya bambu agar di atasnya dapat di gunakan untuk menata ubarampe. Terkadang ada juga yang menggunakan “takir” dari daun pisang, takir memiliki makna tatag ing piker bagaimana sebelum memulai semua yang dilakukan dengan memantapkan hati dan pikiran terlebih dahulu. 

Setiap wilayah di Indonesia memiliki tatanan dan cara yang berbeda dalam membuat dan menyusun ubarampe dalam berbagai kegiatan yang digelar. Tidak berbeda dari lampah atau laku Nyai Roro Dadak Purwo yang dialami selama ini, setiap tempat yang didatangi sebagai perjalan seorang penari “Pawestri” Sesaji dan ubarampe memiliki peranan yang sangat penting untuk menyatukan diri kepada Sang Pencipta.

Pada setiap aspek tempat dan waktu yang berbeda ubarampe yang digunakan pun berbeda sesuai dengan kondisi dan keadaan saat itu ketikan tarian ritual akan di lakukan. Bagaimana pandangan beberapa kalangan terkait dengan ubarampe yang hanya dipandang tidak etis, ulasan ini adalah upaya bagaimana ubarampe adalah salah satu elemen terpenting didalam adat istiadat kita orang Jawa yang sudah menyatu dengan Indonesia dengan berjalan beriringan turun- temurun selama ini.



Kontributor     : Agus Eko Suryanto
Editor               : Muhammad ‘Afaf Hasyimy 

Posting Komentar untuk "Sesaji Dan Tari Ritual Nyai Dadak Purwo"